Kamis, 29 Oktober 2015

Catatan Finisher Terakhir Audax Solo 2015 – Bagaimana Bertahan Sampai Akhir


Sifat makhluk hidup adalah berpindah tempat, itu kata buku teks IPA anak SD jaman 80-90’an di Indonesia seperti saya. Olahraga sepeda adalah salah satu contohnya, dan mengapa olahraga menjadi penting, sebab saya sangat terinspirasi oleh suatu dialog di film Dead Poet’s Society (1989) – bukan, bukan Carpe Diem (terima kasih sudah mencoba menebak dan ikut bermain) - dimana John Keating yang diperankan oleh Robin Williams berkata “Sports are a chance for us to make other human beings push us to excel”.

Sebenarnya jika judul tulisan ini dijawab secara singkat, mengenai bagaimana bertahan sampai akhir, maka jawabannya adalah semangat untuk terus bergerak. End of story. And we can all go on with our lives. Tetapi seperti kata Hubert Laws: “When you listen to someone improvise, the notes that are played are only half the story.", maka paragraf selanjutnya adalah cerita dibalik itu.


Tentu saja harus disadari bahwa practice makes perfect, meskipun jauh dari kesempurnaan, setidaknya latihan rutin akan memperbaiki daya tahan fisik dan mental dalam menghadapi rute panjang dan menantang. Saya suka bersepeda semenjak kanak-kanak, jaman SMA pun masih ngapel ke rumah anak gadis orang pakai sepeda angin, sepeda terakhir saya adalah sejak tahun 1996. Sepeda yang sekarang saya pakai, jenis road bike, termasuk keseriusan saya bersepeda secara rutin dibimbing oleh kawan kawan di YSCC baru semenjak 1 Pebruari 2015. Benar. Belum lagi setahun. Semoga ada sedikit semangat yang bisa saya bagikan bagi anda untuk memulai hobi ini, atau kembali menemukan ketertarikan dalam meneruskan olahraga yang seru ini.

Awalnya tentu saya bersepeda hanya dalam jarak dekat dengan durasi kurang dari satu jam. Tetapi YSCC berhasil memotivasi saya sebagaimana kutipan yang disampaikan oleh John Keating di atas, untuk lebih telaten dan terarah dalam membangun kekuatan untuk bersepeda lebih jauh. Sampai akhirnya Grand Fondo pertama saya pada 10 Mei 2015. Masih belum memakai BIB Short. Sendirian. Tanpa bike comp. dan sepatu olah raga biasa (bukan clip-less pedal). I did it. Meskipun di Banyuwangi Genteng-Ketapang-Genteng sejauh 107 km harus diselesaikan dalam 6 jam lebih, terlalu lama menurut ukuran kawan kawan yang sudah lebih lama berlatih, namun itu sebuah prestasi besar bagi diri sendiri untuk mengalahkan segala keraguan dan kekhawatiran, disamping tentu menjadi modal untuk penaklukan selanjutnya. Seperti kata Arifandi Wijaya – mengalahkan dirimu sendiri.

Tantangan Berikutnya adalah tantangan perayaan Tour de France Alpe d’Huez di Strava dimana secara akumulatif sebuah tantangan jarak tempuh dan total elevasi diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. Selesai juga sekaligus menjadi Grand Fondo ke-dua saya. Tentunya dengan bermodal pengalaman saat melakukan Grand Fondo pertama, dan upgrade pada clip-less pedal untuk efisiensi kayuhan.

Berselang satu bulan kemudian adalah proyek iseng untuk mengisi liburan panjang 17 Agustus 2015: Genteng-Ketapang lanjut Gilimanuk-Denpasar. Bersama Garuda Satu alias Zuhad Irfan dan Anthoni Yusbida kami taklukan tantangan itu dengan total waktu kurang dari 12 jam, jarak tempuh 150 km lebih (Grand Fondo terlalui), pertengahan musim kemarau, dan rute Roller Coaster sepanjang Gilimanuk-Tabanan. Walaupun akhirnya memutuskan untuk menyudahi kayuhan di Mengwi karena ingin segera naik mobil untuk mengejar sunset di Kuta, namun pengalaman baru sudah didapat: endurance untuk melakukan Grand Fondo dengan rute Roller Coaster.

Hanya berselang dua minggu setelah itu, tawaran dari Rudy Effendi – Atlit Muda YSCC Anak Perantauan Solo-Surabaya Pejuang Skripsi – untuk ikut Audax Solo 2015. Tentunya secara impulsif saya mendaftarkan diri menyusul teman teman yang jauh lebih lama bersepeda, lebih berpengalaman, dan penuh perhitungan matang: Achmadi, Dewangga Ario, Zuhad Irfan, Dhany Prastyanto, Theri Effendi, dan Rudy Effendi. Lalu menyusul pula Arifandi Wijaya dan Beny Setiawan. Intinya satu: semangat untuk terus bergerak mencari pengalaman baru sembari reuni dengan kawan-kawan.




Reportase mengenai bagaimana Audax Solo 2015 dapat dibaca pada tulisan Zuhad Irfan di web ini. Kami bersama sama menjalani Audax, tetapi ada bedanya: dia termasuk yang on time bersama Road Captain hingga finish, sementara saya, selisih hingga setengah jam (masih dalam batas Audax sih: satu jam).

Hal yang menarik adalah jargon Audax : Start Together, Ride Together, and Finish Together. Awalnya saya mengira kita akan selalu bersama sepanjang jalan kenangan, maksud saya jalan naik dan turun, tetapi kemudian saya sadar bahwa bukan itu maksudnya. And I found it out the hard (sweet) way.



Saya mengawali rute Audax Solo 2015 dengan mendengarkan pesan penting dari Achmadi ”Mari kita maju ke tengah peloton. Jangan di belakang. Mumpung rute masih belum berat, kita ikuti peloton membuka angin. Jangan tercecer di belakang. Belum saatnya tercecer”, Rute masih belum berangsur menjadi tanjakan dengan gradien yang secara bertahap meningkat di atas 5% untuk mulai memilah siapa yang kuat dan siapa yang berusaha tetap bertahan ketika Rudy Effendi sembari melakukan selfie dengan action cameranya – saat itu gradien masih antara 1-2%- mengatakan suatu kalimat yang akan saya ingat sampai di garis finish, bahkan mungkin selamanya di sepanjang hidup saya saat saya menghadapi tantangan dan kesulitan: “Gimana Mas? Enak kan sepedaannya ? ini bukan tanjakan kok mas, tetapi cuma jalan datar yang kebetulan sedikiiiit miring

Tidak lama kemudian tanjakan menghadang. Gradien 6-8%. Peloton mulai bubrah. Alam melakukan seleksi. Saya mulai menyumpah nyumpah sembari menatap bayangan Rudy dan yang lain kian mengecil menyisakan debu dan bising napas saya sendiri yang kian tersengal-sengal. Saya berusaha mengingat pesan Rudy tadi, dan pesan Zuhad Irfan saat petualangan kami di Bali: “yang sabar sama tanjakan, Mas. Ikuti dengan pace-mu sendiri. Dan jadikan yang lain sebagai penyemangat. Jangan dikejar. Ikuti saja sebisanya”. Perlahan tapi pasti saya mulai mengamati cadence dan heart-rate di bike comp, mencari rentang dimana saya merasa nyaman, dan perlahan sampai ke pit-stop pertama. Senang sekali ketemu teman teman lagi. Tetapi mereka sudah sempat beristirahat hampir 30 menit ketika saya yang baru minum beberapa teguk mendengar pengumuman bahwa peloton akan start lagi dalam 5 menit.

Neraka dimulai setelah pitstop pertama, tanjakan dengan gradien 10-15%, saya melihat Zuhad Irfan di depan saya beberapa meter, peloton tercecer oleh mobil salah satu stasiun televisi swasta yang dating terlambat dan ingin mendahului peloton untuk mengambil gambar dari depan. Saat itu beberapa cyclist mulai mengatasi perubahan kecepatan dengan melakukan off-saddle, saya yang masih excited dan ingin bareng sama teman-teman, tanpa pikir panjang mengejar Zuhad Irfan yang sedang melakukan off-saddle di bawah sorotan kamera di Gradien 10%, saya ikut di sebelahnya, melakukan off-saddle juga, sampai kemudian kurang terlatihnya fisik saya menunjukkan dampak: kram mulai merayap di paha kiri depan sebelah dalam (muscle belly vastus medialis quadriceps), saya oper gir di bagian rolling untuk memperlambat laju, namun derailleur depan kurang smooth, saya terhenti. Dhany Prasetyanto menyapa dan menanyakan kondisi saya, menyusul Rudy Effendi dan yang lain terbukti melakukan strategi lebih tepat yaitu mengikuti polanya masing-masing dan tidak terlalu terburu nafsu beraksi di depan kamera seperti saya. Semenjak itu jarak pemisah kian melebar, dan kram perlahan lahan tidak dapat lagi dibendung pada sisi paha kiri saya.

Sekian belas kilometer kemudian, saya yang mulai tidak konsentrasi mebebankan kayuhan ke sisi kanan sembari tetap mempertahankan cadence mulai terlambat minum (Penting diingat selama Grand Fondo: minumlah sebelum haus, makanlah sebelum lapar). Satu tanjakan di depan dengan gradien yang berangsur naik, matahari kian terik, saya hadapi ketika di tengah tengah ada seorang cyclist berhenti karena kram. Saya melewatinya, dan tidak beberapa lama saya mengalami hal yang sama. Kram simultan pada paha kiri dan kanan di bagian vastus medialis quadriceps muscle !!



Saya ingin berhenti saat itu. Ingin beristirahat. Tetapi saya tidak yakin apakah akan kuat bila memulai lagi setelah berhenti di tengah tanjakan seperti itu (dan hal ini saya renuingi: berlaku pula dalam setiap aspek kehidupan), saya juga tidak tahu apakah di depan akan semakin berat, ataukah akan semakin ringan. Sembari tetap berpikiran positif, saya pasang gir pada posisi teringan, dengan cadence sangat lambat asalakan tetap mengayuh dan bergerak. Sembari boros air untuk menyemprot tungkai dengan tujuan mendinginkan sehinga kram bisa mereda. Lima menit kemudian, menjelang sebuah dataran, kram itu sirna. Syukurlah. Jarak semakin jauh, air semakin tipis, jarak pit-stop berikutnya masih 20 kilometer.

Saya kemudian terhibur saat dengan turunan turunan landai yang panjang dan dihiasi hamparan sawah dari atas tebing di dataran Jawa Tengah, sejenak membuat saya bersyukur dan melupakan penat dipaha. Tak berapa lama ada perhentian ekstra membagikan air dan makanan ringan. Saya berhenti untuk loading air dan ngemil sedikit. Informasi saat itu pit-stop ke-tiga hanya berjarak 10 km. Saya semakin bersemangat.

Menjelang 2 km dari perhentian yang dijanjikan, panitia dengan mobilnya menyalip saya sembari menyodorkan senyum simpatik dan air dingin, saya yang menganggap perhentian sudah dekat, meskipun tidak menguasai medan, menolak tawaran itu, “thank you. I’m fine.” Ternyata itu adalah kesalahan fatal.

Sudah melewati 3 kilometer. Saya mulai gamang bila saya melampaui perhentian yang seharusnya, atau malah lebih buruk: saya kesasar. Tibalah di persimpangan. Penunjuk jalan yang melegakan hati mengatakan “kurang 2 kilometer, Pak”. Drama berlanjut, beberapa cyclist mulai evac masuk ke mobil, dan tampaklah bike-rack di belakang mobil mengangkut sepeda mereka, sebagian besar adalah dream-bike idaman saya.  jalanan mulai rusak, membuat saya sulit mengatur cadence karena sibuk menarik rem bila tidak ingin ditumbuk sepeda motor yang mulai ramai lalu lalang di akhir pekan itu. Jalanan mulai sepi hunian, apalagi minimarket andalan dengan lemari pendingin berisi jajaran air yang segar, barulah saat itu saya sadar bahwa saya seharusnya tidak boleh menampik tawaran air dingin tadi. Akhirnya sampailah di pit-stop ke-tiga. Molor 20 km dari yang dijanjikan.

Setelah makan siang yang agak terburu-buru karena saya ingin membarengi peloton lagi, rupanya keberangkatan ditunda untuk menunggu fast group berhenti makan. Agak terhibur dengan candaan rekan rekan. Saya baru mau tambah makan ketika Rudy Effendi mengingatkan agar tidak terlalu kenyang sebab setelah ini rutenya adalah menuju Waduk Gajah Mungkur yang masih berisi tanjakan. Beberapa saat kemudian start menuju Waduk Gajah Mungkur. Tanjakan menghadang menyisakan saya jauh di belakang.

Beberapa kilometer kemudian saya tidak menunda untuk berhenti di minimarket, saya putuskan untuk tidak lagi mengejar peloton, tetapi beristirahat untuk suplai minuman/makanan  berkalium tinggi dengan harapan bisa membantu meredakan kram, dismping 3 botol air mineral dingin. Dua untuk mengisi bidon, satu untuk mengguyur badan dan kepala, serta tentu saja paha yang masih sedikit pilu oleh kram tadi.

Kali ini adalah segment dimana saya merasa sendiri dan tertinggal, saya tetap denga pace saya, saya sudah sadari kekeliruan sebelumnya dan tidak akan mengulang. Lalu saya melihat Ixnatius Ariyando (kesempatan kali ini berperan sebagai fotografer dan evacuator) dan support car. Saya berhenti untuk loading air (kali ini keputusan saya sudah tepat) dan mengencangkan sekrup pemegang bidon. Saya meminta rokok (ya saya merokok), Ixnatius menampik “rokok ini menunggumu di garis finish, San. Bukan sekarang. Perjalananmu belumb berakhir”.

Keadaan membaikberangsur membaik, percayalah sesudah kesulitan akan ada kemudahan, performa saya mulai pulih, bahkan kelak terjadi kejutan yang tidak diduga -dan rasanya tidak mungkin terjadi- bahwa pada segment Gajah Mungkur Climb, alias Giritontro Climb pada leader-boards waktu yang saya tempuh di tanjakan tersebut cukup memuaskan. Saya mulai terkenang beberapa evac car sebelumnya, dream bike tersebut, bahwa sebenarnya Grand Fondo ini bagi saya sangat kontemplatif, orang jawa bilang semua hanya sawang sinawang, masing masing menghadapi masalahnya sendiri-sendiri, yang membedakan adalah ada orang yang masih memperhatikan orang lain yang kesusahan di jalan, ada juga yang tidak peduli. Sungguh suatu miniatur kehidupan. Seorang pengendara motor yang barusan menepi mengacungkan jempol, dan tersenyum kepada saya di tanjakan terakhir sembari berseru “semangat Pak. Gajah Mungkur satu kilometer di depan. Bapak pasti bisa”. Jangan pernah melupakan kalimat yang menyemangati orang lain, kawan, anda tidak tahu dampaknya. Seketika itu rasanya angin begitu segar, mendorong saya mengayuh lebih cepat. Saya tersenyum. Pintu masuk Waduk Gajah Mungkur menunggu di sisi kanan jalan.

Pit-stop terakhir (yang lagi-lagi cukup singkat bagi saya) berlalu. Kalimat penyemangat dari panitia “who wants to go home? Are you ready to ride home together?”. Indah sekali. Waktu menujukkan pukul tiga sore waktu setempat.

Tentu bukan hal baru bila saya tuliskan bahwa kali ini pun saya tetap tercecer di belakang. Hanya bedanya saya sudah ikhlas. Semua orang memiliki kemampuan masing-masing. Saya yakin saya akan finish juga pada waktunya. Saya santai sampai kemudian sesuatu terjadi.

Notifikasi di bike comp saya berbunyi “low battery” di jantung kota Wonogiri. Saya mulai gentar. Catatan perjalanan sangat penting untuk diceritakan kepada anak cucu kelak. Lalu bagaimana ini? Sementara ETA masih 90 menit. Saat itulah saya putuskan untuk full-speed. Selebihnya adalah perjuangan saya melawan angin sendiri, meliuk liuk menerabas kemacetan persimpangan yang padat di akhir pekan. Lalu Kota Solo di depan mata. Apakah permasalahan selesai? Tentu tidak. Saya kesasar.

Saat itu rute yang di bike-comp sudah tidak cocok dengan panduan yang diberikan pemandu jalan. Sudah tidak tampak cyclist di sekitar saya. Saya memutuskan mengikuti peta di bike-comp. Sampai saya sadari bahwa Solo memiliki banyak jalur satu arah. Saya membeli air di minimarket dan menanyakan arah.

Saya finish dari arah berkebalikan dari rute peloton. Kawan kawan tampak lega ketika menyalami saya yang dikira menghilang entah dimana sembari mengambil alih sepeda saya agar saya dapat bersitirahat segera. Dewangga Ario berkata “ini adat YSCC, San. Achmadi mengajarkan last finisher dihibur dengan segera istirahat dan kita urus sepedanya”. Itu mengharukan dan saya kenang selamanya. Saya menerima rokok dari Ixnatius Ariyando, mencomot bike-comp. Tekan END RIDE. Upload Complete.  

Sisanya adalah selebrasi dan unggah perjalanan ke social media, serta kenangan terbaik dan pelajaran berharga yang akan kita simpan selamanya. Seperti kata Dhany Prasetyanto hari itu “it’s all about life achievement and experiences”. Saya sangat setuju bahwa setiap cyclist menyimpan kenangannya masing-masing. Achmadi memipin doa syukur untuk mengakhiri perjalanan hari itu sebelum kami mulai barbeque party dan pembagian finishers medals.

Beberapa hari kemudian di perjalanan menuju Genteng Banyuwangi, saya mendengarkan lagi lagu The Greatest American Hero dari Joey Scarbury. Ini dulu saya dengarkan di pitstop terakhir Grand Fondo pertama saya sembari mengasup Madurasa kenangan dari Zuhad Irfan. Saya selalu memutar lagu ini setiap usai riding yang menurut saya berat.  Saya selalu disemangati, merasa ditemani, oleh lagu ini, oleh teman-teman YSCC yang jauh di mata dekat dihati. Semoga yang sedikit ini dapat juga menginspirasi anda. Tetap bersepeda. Tetap semangat. Salam Kudos Bungkus Karet Lima Nggak Pake Lama !!






Tentang Penulis:
Risandi Harry Pradipto adalah penggemar olahraga sepeda. Anggota YSCC. Penyuka batik dan pencinta raw denim. Senang jalan jalan dan makan. Penikmat musik dan film. Bila tidak sedang bekerja di RSUD Genteng Banyuwangi sebagai Ahli Bedah Orthopedi dan Trumatologi, anda dapat pastikan dia tengah membuat playlist untuk acara riding sepeda berikutnya sembari memutar piringan hitam dan membuat dokumentasi fading jeans serta patina barang kerajinan kulit kecintaannya. Saat ini tengah mempersiapkan diri untuk GFNY Lombok dan kompetisi Royal Rumble dari OldBlue Jeans.

Temukan dia di Path, Tumblr, Twitter, Facebook, dan Instagram

5 komentar:

  1. tulisan anda membuat orang yang tidak mengikuti Audax atau bahkan tidak pernah bersepeda sekalipun akan merasakan suka duka perjalanan Solo Audax ini. Nice

    BalasHapus
  2. sungguh bangga saya turut berperan mengenalkan roadbike pada Risandi. makin bangga bahwa beliau sudah melampaui saya yang belum pernah berhasil mencatatkan satupun Gran Fondo :D

    BalasHapus