Senin, 23 Juli 2018

Road to KOGI 2018 - etape 4

Etape 4

Etape terakhir adalah dari Lasem sampai ke Semarang. Zuhad Irfan berpesan untuk lebih santai saja
sebab toh ini etape terakhir, dan sudah tinggal 100 km lebih sedikit. Seharusnya tidak akan ada kesulitan bukan ? Salah!


Lasem - Rembang Kota

Pak Bambang menggiring speed di 25-30 km/jam. Saya merasa ini kali dilakukan terlalu dini tanpa pemanasan yang memadai. Tidak seperti biasanya. Tapi saya mengikuti saja pace beliau. Beberapa kilometer beliau nyengir sambil mengatakan: ada yang salah sepertinya, tumben saya tidak merasa terlalu bugar.

Saya waktu itu bingung berkomentar apa. Sebagian mungkin karena saya mengingkari kondisi yang serupa. Atau mungkin sibuk menduga bila saja Pak Bambang hanya berusaha menutupi keraguan saya dengan berpura-pura tidak prima.

Memasuki kota Rembang speed kami turunkan. Meskipun kota ini memiliki jalan raya yang mulus, namun waktu mengisyaratkan jam anak berangkat sekolah, banyak angkutan kota yang berhenti mendadak untuk menaik-turunkan penumpang. Lebih baik cari selamat saja. 


Rembang Kota - Pati

Pada segmen ini Pak Bambang dan saya mulai saling sepakat terhadap gejala yang sama: tungkai tidak sesegar biasanya. Kami bergantian menjaga speed di 22-25 km/jam namun menggunakan gigi ringan dan menaikkan cadence ke kisaran 100 rpm. Perlahan namun pasti speed kami menurun hingga kami merasa sudah kepayahan di speed 20 km/jam, jantung masih di zona pemanasan, tapi pikiran mulai tidak fokus. Setelah saling tanya dan analisa kondisi lebih lanjut, kami terbahak-bahak bersamaan sambil berteriak nyaring: akhirnya kita hanya manusia lemah yang merasakan kehabisan tenaga... (biasanya kawan kawan endurance sport enthusiast menyebutnya "bonking").
Tidak bisa ditunda, meskipun baru menempuh jarak sekutar 30 kilometer, kami menepi untuk mencari sarapan. Masih lewat beberapa menit dari pukul 8 pagi. Lebih awal daripada biasanya. Mungkin kami kehabisan banyak tenaga dan salah kalkulasi total saat etape 3 kemarin. Kami jeda selama kurang lebih satu jam setengah. 



Pati - Demak (Kami Tidak Mampir Ke Kudus) 


Pukul 9 lewat, kami sudah merasa jauh lebih baik setelah lewat seporsi Nasi Gandul, beberapa potong tempe, dan segelas kopi.
Saya mengatakan kepada Pak Bambang: seumur-umur saya belum pernah mampir ke Masjid Besar Demak dan Masjid Besar Kudus. Keduanya masjid bersejarah, dan ini hari Jumat. Alangkah lengkap momennya bila saya bisa merayakan Hari Jumat di masjid yang iconic tersebut.


Pak Bambang menyanggupi setelah menganalisa peta yang menunjukkan jarak tempuh 50 kilometer lebih dari Pati ke Demak. Beliau mengatakan saya harus memilih antara langsung ke Demak atau mampir masuk kota Kudus yang hanya berjarak 20 km. Saya memutuskan ke Masjid Besar Demak saja, sebab 20 km ke Kudus akan tercapai dalam waktu singkat dan bakal memperpanjang waktu istirahat sedangkan total jarak sisa etape terakhir dari pitstop di Pati ini masih 80 km. Pak Bambang memungkas: Baiklah bila itu ketetapan hatimu. Teguhkan dirimu, ini akan jadi saat dimana kamu terakhir perlu melakukan "tour de force" di rangkaian perjalanan ini. Lakukan seperti yang kamu lakukan di Hutan Baluran (etape 1), Segmen Pasuruan-Gempol (etape 2), dan Tuban - Pantai Sowan (etape 3). Jadikan senang dan niat untuk tepat sampai ke masjid sebelum ibadah dimulai pada pukul 12 kurang sebagai penyemangat.

Saya melirik jam: terbaca angka 09:30. Dua jam untuk 50 kilometer. Rerata 25 km/jam. Lebih gegas lebih baik. Tour de force terakhir. [Selingan sedikit: tour de force ini definisi untuk aksi yang relatif gila-gilaan seperti ulasan terhadap performa vokal Mark Ledford (RIP) di lagu Finding and Believing dalam album Secret Story milik Pat Metheny (1992)].

Speed saya giring perlahan naik ke kisaran 30 km/jam. Asupan makanan saya kudap lebih kerap. Matahari mulai terik. Tiga puluh enam derajat celcius lebih. Rute jalan lingkar Kota Kudus dengan sambungan jalan yang tidak mulus cukup mengganggu mood. Pak Bambang mengisyaratkan saya "pasang AC" - istilah beliau untuk melepaskan kancing retsliting jersey. Emosi saya terluapkan setelah Pak Bambang memancing dengan speed tinggi di tanjakan Jembatan Pintu Gerbang Kota Kudus. 51 km/jam dengan sepeda berbobot 30 kilogram. 


Waktu menunjukkan 11.15 saat kami mencapai area parkir Masjid Agung Demak, lebih cepat 15 menit dari target waktu. Masih cukup untuk mendinginkan hawa. Dua gelas es jeruk tandas tanpa sisa di bawah pohon besar seberang masjid sembari saya memandang lepas penuh kelegaan ke arah salah satu masjid tertua di Indonesia berusia 600 tahun nan sangat kaya simbol tersebut. 


Tiada Daya dan Upaya tanpa izin-NYA. Saya tidak terlambat di Hari Jumat untuk menghayati pesan imam tentang pentingnya kesabaran dalam menjalani hidup demi selamat dalam mencari tenteram. Seumpama menggaris-bawahi petuah dari Pak Bambang malam sebelumnya beberapa kilometer
dari Kota Lasem. Anda tahu, hanya haru yang tersisa dalam senyap ketika bermacam kejadian hadir seirama secara tegas dan hangat menyentuh hatimu dan menunjuk hidungmu membawa pesan khusus yang seolah anda butuhkan; dalam kasus saya: kesabaran.

Demak - Semarang Kota

Kenangan terakhir yang saya ingat adalah menabahkan diri dalam segment sepanjang 30 kilometer menuju Kota Semarang. Suhu menunjukkan 38 derajat celcius. Saat langit mulai senja, perbaikan jembatan Kaligoro seumpama menjadi ujian pamungkas untuk rangkaian perjalanan sejauh 600 km: handling yang dituntut prima di akhir perjalanan saat sepeda bermuatan besar harus meliuk di antara kepadatan lalu lintas kendaraan besar dan kecil yang menuju Kota Semarang, tidak jarang memaksa kami turun dari jalan utama dan menjejak kerikil tajam di bahu jalan. Betapa bersyukurnya selama perjalanan tidak satupun insiden ban bocor terjadi.

Mulut Jalan Raden Saleh menyambut kami dengan ramah. Bung Rachmat dari klub sepeda Semarang memandu kami menuju hotel setelah mengajak kami mampir di depan Spiegel dan Lawang Sewu. 


Finish di Pandanaran disambut oleh dr. Yuli Trisetiyono, SpOG - K.FER yang serta merta mengucapkan selamat datang dan menyodorkan jersey KOGI. 


Perjalanan 600 km yang berkesan. Ribuan kenangan melekat. Seumpama Pak Bambang mengantar saya menempuh perjalanan demi satu wasiat penting yang terkenang selamanya -yang kelak segera teruji saat kami melumat Tanjakan Singorodjo pada Tour de KOGI 2018- yaitu: SABAR. 





Risandi Pradipto

Banyuwangi
Senin, 23 Juli 2018 - 23:44 

Jumat, 20 Juli 2018

Road to KOGI 2018 - etape 3

Surabaya - Gresik - Lamongan - Babat - Tuban - Pantai Sowan - Lasem

Surabaya - Gresik.
Start pada etape ke-3 lebih siang secara gradual dari‐ pada 2 etape sebelumnya. Kami start kali ini selepas matahari terbit. 

Start


Waktu yang sudah cukup siang untuk menempuh perjalanan dari Surabaya menuju Gresik. Penuh leliku menyelip di antara truk besar dan aliran sepeda motor di kawasan pergudangan Margomulyo. Perlu ekstra hati hati sebab segmen Jalan Gresik
tidak memiliki pembatas jalan antara dua lajur yang berlawanan arah. Cukup mengejutkan sebab yang saya rasakan jarak tempuh tidak sejauh perkiraan. Tanjakan di depan Gelora Olah Raga Jaka Samudra menyambut kedatangan kami di Kota Pudak.
Agak agak melankolis dengan sensasi nostalgia setelah kemarin naik sepeda lewat Surabaya - Sidoarjo yang merupakan angan angan masa kecil, lalu ini hari lewat Gresik yang juga merupakan rute kenangan semasa pendidikan. Lamunan terhenti oleh dering telepon: dr. Achmadi berpesan singkat agar kami mampir sebentar untuk jumpa singkat di depan Kantor Bupati Gresik sebelum lanjut ke Lamongan.

Gresik

Gresik

Bersama dr. Achmadi founder YSCC di Gresik


Gresik - Lamongan
Segment ini merupakan segmen persentuhan awal dengan truk truk besar Pantura Surabaya-Jakarta. Kondisi jalan yang cukup besar dan adanya pembatas antara lajur yang berlawanan membuat kami cukup tenang meskipun tetap ekstra hati hati mepet di
sisi kiri jalan. Perjalanan diputuskan jeda di Kaliotik Lamongan untuk sarapan pagi. Pukul 08.30.

Kaliotik Lamongan

Selama 3 etape terakhir, mengingat kondisi fisik tentunya semakin menurun, kami cermati dengan secara gradual start lebih siang, tetapi secara gradual pula pitstop untuk makan semakin dini, dengan bertahap segment antar pitsop dipersingkat durasinya: alhasil selama 3 etape terakhir catatan data di bikecomp menunjukkan rata rata kecepatan yang tetap, dengan durasi di atas sepeda semakin panjang, dan respon rerata denyut nadi semakin rendah.

Lamongan Kota - Babat
Kalau boleh dibilang, agak sedikit gegas di sini. Durasi cukup singkat: 50 menit. Kami berhenti di toserba tepi jalan untuk bekal ulang air.

Toserba Babat


Babat - Kota Tuban
Segmen yang cukup membuat nyali ciut: sebab ini adalah segmen awal setelah kami memutuskan untuk tidak lewat Bojonegoro - Cepu, dan lanjut lewat Pantura, seakan-akan awal evaluasi mengenai tepat-tidaknya keputusan tadi. Terik tengah hari dan angin menahan laju kami menuju Tuban Kota. Sebuah kendaraan berisi kelompok mekanik salah satu merek sepeda motor mendadak menyalip kami yang tengah terseok-seok di tanjakan sebelum gapura masuk Kota Tuban dan menyemangati dengan kepalan tangan di udara : lanjutkan Pak, pro pedal !!!!






Tuban Kota
Sesuai saran dr. Achmadi kami mengikuti telusur
jejak di mesin perambah rute di ponsel kami
untuk menuju tepi pantai Kota Tuban demi makan siang di Sate Pak Ran.
Sensasi leliku dalam kota menuju pantai ini cukup menghibur. Warga kota Tuban cukup ramah memberikan arah yang lebih las ketimbang apa yang nampak di ponsel kami. Awalnya saya agak sebal karena merasa detour di dalam kota yang banyak perskmpangan lampu merah ini akan menghabiskan waktu, tetapi seketika rasa senang yang luar biasa muncul seketika nampak ujung unung tiang perahu layar di lepas laut tepi Pantura Jawa. Sejurus kemudian kami berhasil sampai di Sate Pak Ran untuk mandi, istirahat sholat dan makan siang.





Tuban Kota - Pantai Sowan
Kami sempat berdiskusi sembari mengudap sate: mau bagaimana ini hari, apakah tetap lanjut sampai 150 km di Pantai Sowan, atau lanjut ke Rembang. Saya memutuskan ambil jalan tengah: lanjut ke Pantai Sowan dan tambah sedikit untuk cari penginapan sekenanya, toh itu berarti sudah lebih dari 150 kilometer jarak tempuh hari ini dan hanya 37 km dari Tuban, dengan asumsi masih merupakan daerah wisata dengan tersedia penginapan dan bila lanjutkan perjalanan pukul 14.45, berarti kami akan sampai sekitar pukul 16.45 atau 17.00. Adapun kekurangan dari pilihan ini berarti pada etape ke-4 kami harus tempuh lebih panjang. Agak gamang sebab tentu tidak nyaman bila harus lebih panjang di etape terakhir.
Dan terbukti keputusan saya: salah.
Tidak ada penginapan di kisaran Pantai Sowan.

Pantai Sowan Pantura
Pantai Sowan - Lasem
Perjalanan kami lanjutkan sampai perbatasan propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Perbatasan Jawa Timur Jawa Tengah

Perbatasan Jawa Timur Jawa Tengah


Sudah ekstra 10 km, lelah, dan kecut senyum kami mendengar ketegasan dari warga sekitar: Tidak ada penginapan kecuali yang terdekat di Lasem. Empat puluh kilometer lagi. Saya melirik salah satu banner tepi jalan restoran di Kota Rembang: 52 kilometer, begitu katanya.
Sepertinya mau tidak mau akan haris lanjut sampai ke Lasem atau Kota Rembang. Night ride tentu pilihan yang tidak enak untuk touring cyclist. Apalagi lewat Pantura. Agak agak ngeri ngeri sedap gitu membayangkan truk beroda 22 merayap di samping telinga di malam yang gelap diiringi Maghrib yang sudah mengambang. Setelah jeda sholat Maghrib saya mendapatkan banyak sekali petuah bijak dari Pak Bambang Sutrisno tentang bagaimana bersepeda ini adalah miniatur kehidupan, dan bagaimana kesabaran dan rasa senang adalah energi yang penting untuk tetap laju saat
ragu kadang diperlukan.
Perambah di ponsel saya menelusuri jajaran hotel terdekat. Saya pilih salah satu dengan jarak terdekat. Sekilo, sepuluh kilo, banner berseri dari restoran yang sama di Kota Rembang seolah menjadi paduan suara yang kompak dengan hitung mundur jarak tempuh
di Google Maps. Suara laut meruak saat jalanan mendadak senyap dari truk yang melintas. Lampu PJU hilang timbul. Rasa lapar mulai muncul.
Selanjutnya percakapan antara Pak Bambang dan saya semakin irit. Sebagian karena kami sibuk dengan lapar dan dingin, sebagian lagi karena perlu konsentrasi ekstra mengamati situasi jalanan di depan kami lewat pendar lampu sorot kendaraan yang lewat.
Hitung mundur banner mulai menunjukkan angka 15 kilometer, kami sudah sampai Lasem. Ternyata hotel yang kami tuju berada di sekitar Pasar, pintu masuknya seru. Sepeda kami naiki melalui pengunjung restoran yang sedang duduk di teras gedung loji berusia 200 tahun yang dihiasi cahaya temaram. Bangunan hotel yang baru dibangun dan beroperasi 2 bulan dengan eksterior dan interior yang seumpama mereka ulang atmosfer 200 tahun silam mulai dari colokan listrik, kursi kayu sampai meja rias. Kami check-in sembari asik membuat foto untuk obat lelah. Bapak Himawan selaku pengurus hotel memberikan tour singkat dan berbagi kepada saya via pesan singkat video ulasan hotel dengan adegan pembuka drone yang memotret senja di Lasem.
Malam jatuh di Lasem. Etape ke-3. Kota yang terakhir padanya saya hanya numpang lewat lebih dari 10 tahun silam. Seperti biasa kata Pak Bambang ketika kami bongkar pannier bersiap mandi: perjalanan bersepeda itu seperti episode hidup. Tidak akan terulang meskipun kamu paksakan. Kamu harus sabar dan ikhlas. Hanya dengan itu kamu bisa membuang rasa susah dan menggengam rasa senang setiap saat. Cukupkanlah hidupmu karena dengannya
harus kau jadikan usaha bertambahnya kebaikan amalmu. Tunggulah giliran ajalmu datang dengan rela karena padanya akan berakhir segala keburukan dan nestapa di dunia. Terima apa adanya. Rayakan hidupmu dengan sewajarnya sesuai apa adanya. Nikmati momennya.

Lasem

Lasem


Risandi Pradipto

Lasem, Jawa Tengah
Jumat, 20 Juli 2018 
04:15 AM

Selasa, 17 Juli 2018

Road to KOGI 2018 - etape 2

Rest Area Utama Raya Besuki - Kraksaan.

Hari ke-2 kami start dengan waktu yang lebih siang dengan hari pertama: lewat selepas subuh. Pukul 05.15. Keputusan yang tepat sebab 2km selepas start kami bertemu dengan segmen yang selalu diwanti wanti akan menghabiskan tenaga: tanjakan di PLTU Paiton. Fresh legs + fresh air = smooth ride. Kegembiraan adalah energi, pesan Pak Bambang Sutrisno; kami lewati tanjakan tersebut dengan nyaman dan sempat berfoto di depan fasilitas pembangkit listrik tenaga uap dengan kapasitas terbesar di Indonesia tersebut dan kemudian sempat diiringi seorang cyclist yang sebelumnya bersepeda di kawasan internal PLTU lalu keluar ke jalan besar untuk menyertai kami sejauh beberapa kilometer. Rute menuju Kraksaan ini memiliki tantangan tersendiri sebab jalan tidak terlalu lebar, kurang mulus aspalnya, banyak persimpangan kecil, gangguan beberapa pengendara yang melawan arah, dan interval waktu anak berangkat sekolah. Speed kami jaga di kisaran 25-30 km/jam, kecuali, tentu saja saat di tanjakan. Cukup gegas di segmen jalan datar sebab Pak Bambang menyarankan kami menghemat waktu di jalan senyampang cuaca belum terlalu terik dan kami masih bugar. Masih sempat untuk mampir di rumah sahabat masa kanak kanak Pak Bambang di Kraksaan. 

Rute Etape 2


Paiton

Senin, 16 Juli 2018

Road to KOGI 2018 - etape 1



Akhirnya hari yang ditunggu datang juga. Setelah mempersiapkan berbagai hal mulai dari fisik dan mental, termasuk diantaranya yang paling menantang adalah setup sepeda, distribusi muatan, ijin orang tua dan keluarga, serta latihan fisik dalam hal ini handling dalam mengendarai sepeda bermuatan penuh, dalam speed yang variatif, musim yang tidak menentu, sebagai persiapan menghadapi perjalanan yang akan diiringi hembusan angin Pantura Jawa yang terkenal lumayan bikin cyclist goyah badan dan mentalnya.


Beberapa minggu sebelum keberangkatan, tepatnya sejak awal bulan Juli 2018 saya mengutamakan berlatih menggunakan sepeda yang akan saya kendarai untuk membiasakan handling, memahami karakter sepeda ini, kelebihannya serta kekurangannya, serta beberapa sesi di atas indoor trainer untuk berlatih endurance, serta beberapa sesi berlatih dibawah terik dan hujan serta kalkulasi serta uji coba nutrisi dan peletakannya di tas yang akan digunakan. 




Senin, 02 Juli 2018

We ride Flanders 2018

Pada hari Minggu pertama di bulan April setiap tahun di Belgia diadakan balapan tahunan Tour of Flanders sejak lebih dari 100 tahun yang lalu. Sehari sebelumnya diadakan cyclo sportive We Ride Flanders yang menyusuri sebagian rute balapan ini. Even ini sudah diadakan sejak 1992 dan masuk dalam bucket list banyak cyclist dari berbagai negara, tidak hanya dari negara yang bertetangga tetapi juga Inggris, Amerika, bahkan Australia. Karakter utama even ini adalah tanjakan demi tanjakan yang curam dan pendek, jalan bebatuan yang disebut kasseien, jalur terbuka berangin dan cuaca tipikal yang sering berawan maupun hujan.

Tahun ini saya akhirnya berkesempatan ambil bagian sebagai satu dari 16.000 peserta even massal ini. Dari berbagai jarak yang ditawarkan antara 74 sampai 240 km, saya ‘terpaksa’ mengikuti saran kawan baik saya untuk memilih jarak 130 km saja. Pertimbangan pertama adalah keterbatasan pengalaman, karena saya belum pernah bersepeda lebih dari 100 km apalagi dalam even massal seperti ini. Kedua adalah waktu berlatih outdoor yang terbatas di musim dingin dan besarnya kemungkinan terjadi kerusakan mekanik sepeda. Sayang sekali pilihan jarak ini terpaksa melewatkan tanjakan ikonik Kapelmuur di kota Gerardsbergen. Persiapan terutama saya siasati dengan latihan indoor dengan program Zwift yang saya kenal dari komunitas ZID Zwift Indonesia.