Senin, 02 Mei 2016

HAD-Lander Metamorphosis Cyclist


Sebagai awalan

Kebiasaan bersepeda saya sebenarnya sudah dimulai sejak SD sebagai sarana transportasi pulang pergi sekolah. Mulai sepeda mini, BMX, sepeda balap dan sepeda jengki, pernah saya pakai saat sekolah. Namun sejak kelas 2 SMA saya kemudian banyak berkendara pakai motor.


Polygon premiere 1.0

Hobi bersepeda muncul kembali semenjak saya menjadi Residen Pendidikan Spesialis Kebidanan RS Dr Soetomo, sekitar tahun 2006-2007. Saat itu, beberapa senior (Supervisor & Konsulen–red) dengan kami yang berstatus Residen membuat komunitas bersepeda yang dinamakan Obgyn Cycling Club (OCC). Selain saya, yang bergabung saat itu dan bahkan sampai saat ini masih bersepeda adalah sahabat saya, dr. Hari Nugroho dan dr. Dwinanto. Bahkan mas TOM (begitu biasa saya memanggil dr. Dwinanto) sering bersepeda bareng saat bergabung di komunitas Bikeberry, maupun saat mencoba trek-trek off-road



Perkenalan dengan Polygon Premiere 1.0

Mengingat pada saat itu status saya yang masih residen dan masalah keuangan yang masih sempit, disertai pengetahuan tentang sepeda yang juga masih sedikit, saya akhirnya memilih sepeda yang terjangkau dengan isi kantong. Pilihan saya jatuh pada sepeda Polygon, sebuah merk sepeda lokal  yang sudah mendunia, jenis premiere 1.0. Sepeda ini merupakan sebuah sepeda hybrid dengan ban berukuran 26 x1.5. Pada saat itu, harga Polygon Premiere berkisar antara 1,5 juta rupiah. Bagi saya pada saat itu, harga tersebut sudah cukup mahal. 

Bergabung dengan kawan-kawan, tiap sabtu atau minggu kami bersepeda bersama, rute saat itu masih belum terlalu jauh kalau dibandingkan dengan rute-rute yang saya jalani sekarang.  Start dari gedung GDC RS dr sutomo rute kami menuju ke citraland PP, atau ke arah sidoarjo sampai porong PP dan terkadang ke arah suramadu. Selain trek jalan beraspal juga kadang ke trek tanah menuju ke arah hutan mangrove di wonorejo, saat itu jalanan wonorejo masih banyak pematang di sela-sela tambak, dan tidak seramai sekarang. 

Satu kali, beberapa dari kami membawa sepeda di malang untuk menikmati jalanan di kota Malang yang saat itu masih mulus khususnya di jalan ijen.

Satu kali kami bersepeda di kebun kopi di Banyuwangi, saat itu yang dipimpin oleh Dr. dr. Budi Santoso, SpOG(K) yang kebetulan beliau berasal dari sana dan banyak kenalan pesepeda dari Rumah Sakit Genteng -  Banyuwangi. 

Dengan sepeda yang murah meriah itu saya bener-bener bisa menikmati, bahkan cukup menyatu dengan sepeda itu, trek tanah di sela-sela kebun kopi dan coklat di kalibaru banyuwangi benar-benar nikmat saat itu. Sampai suatu saat terpikir untuk membeli sepeda yang lebih baik. Saya mulai berpikir untuk mencari trek-trek yang lebih berat.



Bikeberry dan polygon zero 

Sekitar tahun 2008-2009, diawali dengan semakin menjamurnya Blackberry, muncul satu komunitas pengguna blackberry yang ternyata juga penggemar sepeda, hanya saja mereka menggunakan sepeda lipat "folding bike" yang saat itu hanya beberapa orang saja pemakainya, jumlah juga masih terbatas. Sebenarnya saat itu saya sudah ingin bergabung mereka. Hanya saja nggak "pede" karena masih pakai sepeda hybrid. Saya bisa memantau kegiatan mereka lewat istri yang sudah menggunakan blackberry juga saat itu. Kegiatan mereka sering di posting di id-blackberry surabaya.

Ternyata mereka tidak hanya menggunakan folding bike saja, ada beberapa yang juga menggunakan mountain bike (MTB) dan sepeda hybrid. Akhirnya saya memutuskan untuk bergabung, mereka sangat terbuka. Bertambah kawan baru dari bermacam latarbelakang pekerjaan, mulai wira usaha, pegawai kantoran, sampai pegawai bank. 

Saat itu keinginan memiliki folding bike sudah terpikir, tapi kembali ke kendala "dana", akhirnya saya memutuskan untuk membeli MTB saja, masih tetep bisa bergabung di bikeberry dan bisa mencoba trek yang lebih berat. Setelah hitung-hitung anggaran, pilihan jatuh ke polygon zero, MTB dual suspension yang paling terjangkau saat itu harga sekitar 4 jtan. Masih jauh lebih murah dari sepeda Hari saat itu polygon Ax1 (sorry ya Har) tak sebut lagi namamu.

Tes pertama polygon zero bukan di trek tanah, justru di trek aspal ikut kawan-kawan bikeberry keliling kota. Beberapa hari kemudian ikut rute gerak jalan mojokerto surabaya, saat itu pengguna sepeda polygon difasilitasi rodalink u tuk bisa mengikuti acara itu dengan bersepedA. Saya ditemana Ides THT dan David bedah. Start sore dari mojokerto dengan sepeda ban besAr finish surabaya sekitar jam 9 malam. Kawan-kawan boleh mencoba ketika MTB ban besar dipakai dijalan raya, bagaimana rasanya.

Dengan polygon zero ini, petualangan di trek-trek berat dimulai. Salah satu anggota bikeberry ternyata pemain MTB dan beliau punya komunitas MTB dikantornya, Djadi sugiarto (Om Djadi) biasa saya memanggilnya, salah satu pentolan Telkom Cycling Community (TCC). Saat itu TCC ada acara bersepeda ke Batu-Malang rencana rute ke gunung Panderman-Malang. Kenal dan bertemu secara fisik saja belum pernah, saya memutuskan bergabung ikut di acara itu. Penginapanpun sudah disediakan, sore hari akhirnya saya berangkat sendirian, seped masuk mobil dan kamipun bertemu di wisma AL di daerah batu. Kawan-kawan TCC menyambut dengan senang hati.

Pagi hari kami start dari penginNapan melewati pasar batu, melewati BNS akhirnya mulailah "blusukan" ke arah panderman, perjalanan saat itu dipandu cyclist malang, bener-bener exited saat itu, jalanan tanah, udara segar trek naik turun, terkadang harus "tuntun sepeda". Mungkin kalau sekarang , Buyung lebih hafal jalur itu. Kami ternyata dibawa ke area paralayang, betapa  indahnya saat itu bisa lihat kota batu dari ketinggian. Rute sebaliknya tentunya decending, sensasi turunan pertama yang saya rasakan, jantung berdegup kencang, konsentrasi penuh, pengereman yang harus pas, bahu yang terasa lebih pegal jadi satu. Bener-bener latihan handling langsung di alam.

Sejak itu trek trek lain mulai menggoda, kebun teh Guci Alit Lumajang, bukit Beru Kediri, Claket Pacet, kebun teh Wonosari Malang, Wonosalam Jombang , lautan pasir Bromo, juga trek-trek yang nggak terlalu berat bukit ular citraland, bukit hollywood gresik dan kebun-kebun kopi di Kalibaru Banyuwangi.

Kesegaran udara, bau tanah, lumpur, indahnya pemandangan alam, keguyuban selama menikmati rute benar benar terasa, berbagi air, berbagi bekal dan betapa kecilnya diri kita saat dialam luas.

Polygon zero ini saya rasakan bener bener menyatu, walaupun dari sisi harga cukup terjangkau tapi handling benar saya kuasai. Terjatuh mungkin hanya saat awal-awal melintasi trek claket, yang sebenarnya lebih untuk sepeda downhill, selebihnya trek-trek lain terlewati dengan mulus. 

Untuk menambah kenyamanan dari polygon zero ini, beberapa upgrade saya lakukan, terutama pada ukuran ban, yang semula ukuran 1.90 saya ganti yang lebih besar 2.35. Maxxis highroller jadi pilihan, terbukti lebih stabil, dan ada sedikit perubahan di gir belakang dari sebelumnya 7 speed saya rubah jadi 9 speed.

Selama menggeluti MTB ada satu soulmate yang selalu bersama, Ronggo Bawono, karyawan sebuah bank BUMN. Dari dia saya banyak belajar tentang sepeda, mulai spare part, teknis dll.  Beberapa even MTB fun ride seperti Sejawat (sepeda jelajah wisata jawa timur), translibas juga kami ikuti. Sayangnya kami harus berpisah karenA dia harus kembali ke jakarta. Saat itu sepeda dia paling top diantara kami. 

Ada satu trek yang serasa jadi hutang karena saya nggak bisa ikut saat kawan-kawan bersepeda di Merapi, saat itu harus stase di banjarmasin dan nggak mungkin ikut acara itu. 

Dikalangan kawan-kawan bikeberry, kami yang gemar main MTB ini dijuluki "orang hutan".

Seiring mulai maraknya MTB Downhill, dan dibukanya trek tamandayu, saya jadi pingin coba-coba. Awal-awal mencoba tetap pakai poligon zero ini, yang jelas spesifikasi sangat tidak cocok, fork depan travel 140 mm dipakai untuk trek downhill teknikal. Lama-lama terpikir apa harus ganti sepeda downhill, lagi-lagi keuangan nggak memungkinkan.
Browsing-browsing yang memungkinkan adalah polygon FR 2.0 , fork bisa pakai dual crown 200 atau single 160-180.
Saat itu banyak downhiller yang sudah memakai spez Demo yang harganya selangit diatas 50 jt.

Akhirnya saya memutuskan untuk membeli frame bekas polygon FR 2.0 th 2009, harga sekitar 5 jtan. Supaya tampak baru frame ini saya serahkan ke Eric caprin untuk repaint ulang. Dengan sepeda ini beberaoa trek desending sudah saya lalui, tamandayu, nongkojajar, jemplang-tumpang, semeru, cangar dan beberaoa trek lainnya. Saat lebih main di trek desending ini saya punya soulmate baru, Ardi pangestu, karyawan bank swastadi sby, seperti saya dan Ronggo juga, kami bermain folding bike juga. 

Dan kami penyuka trek desending ini punua jersey khusus 901 (nine speed  zero brake one passion). Sepeda kami rata-rata 9 speed gir belakang dengan single speed gir depan, zero brake karena hampir jarang ngerem saat menurun dan 1 passion penyuka trek desending atau turunan. 

Ardi akhirnya memutuskan menjual sepeda downhill scott gamblernya pasca cedera patah tangan setelahnterjatuh di cangar, kejadian tepat didepan saya, padahal saat itu hanya jalan pelan.

Saya juga mulai berpikir untuk berhenti main ekstreem setelah beberaoa kawan mengalami hal yang sama.

Setelah berhenti beberaoa saat , saya kembali tergoda untuk kembali ke trek nongkojajar, saya DNF (don not finish), saat itu rear shock patah , untungnya tidak terjadi hal yang fatal. Keiginan berenti semakin kuat setelah kejadian itu, apalagi bbrp bulan sebelumnya juga sempat terjatuh di taman dayu, jatuh dengan posisi terlentang saat jumping di sana, untungnya terlinsung okeh helm full face dan body protector rigid. Sepeda ini akhirnya saya ganti rear shock baru dan sejak itu hanya tersimpan di gudang. Beberapa kali saya tawarkan ke kawan nggak ada yang berminat, akhirnya saya putuskan nggak jadi dijual, biar buat kenangan. 


Bikeberry dan folding bike

Keinginan memiliki folding bike akhirnya terwujud. Diskusi dengan kawan bike berry sebenernya disarankan memilih Dahon speed, namun lagi-lagi kendala dana. Akhirnya saya pilih folding bike lokal merk Folker, sepeda ini fork depan dan belakang bersuspensi, mungkin karena kebiasaan memakai MTB dual suspensi yanh membuat saya memilih sepeda ini, juga harga yang lebih teejangkau dibanding dahon speed. Namun sepeda ini cukup berat buat dijalanan aspal. Sepeda ino akhirnya saya jual dan beli folding Dahon eco 3, 1 level di bawah dahon speed, tapi nggak masalah, touring ke madura, bike to RS dan saat di bali ke arah GWK pun nyaman-nyaman saja. 

Dikalangan kawan-kawan bike berry ada sepeda yang jadi idaman saat itu Bike friday, baru segelintir yang pakai. Sempat juga memiliki sepeda itu BF New World Tourist (NWT) namun hanya berumur 1 minggu dan belum sempat saya pakai harus dijual kembali, daripada urusan RT jadi ramai. Mas Tom sepertinya masih pakai sampai sekarang. Akhirnya saya beli dahon spees juga bekas punya kawan, harga 1/4 nya dari BF NWT saat itu. Dan dengan dahon speed ini banyak tempat yang sudah saya lewati, madura, taman dayu, tomohon manado, batu cobanrondo, bontang ke tugu equator, dan singapore.

Sore hari dahon speed ini juga sering saya pakai di puri galaxy, saat itu roadbike mulai ramai. Keinginan lama memiliki roadbike kembali muncul, apalagi begitu beratnya saat mencoba ikut peleton roadbike dengan folding bike. Di puri galaxy saat itu hany mampu mengikuti 1 putaran saja speed 25 kph dengan folding bike.
Setelah sekian lama menemani akhirnya dahon kesayangan ini harus saya jual juga, buat tambahan beli roadbike😢😢.


Petualangan baru dengan roadbike

Tahun 2013, akhirnya saya memutuskan untuk beralih ke roadbike. Saat itu belum banyak pilihan yang saya tahu, yang terbersit hanya merk specialized, nggak banyak kawan yang bisa saya ajak diskuso saat itu, hanya 1 kawan bikeberry yang dari awal dia memang sudah memakai roadbike specialized. Pertimbangan anggaran pilihan jatuh ke specialized Allez, warna putih merah. Saat itu saya lagi suka warna putih merah, karena serasa sepasang dengan MTB FR yang juga putih merah.


Awal memakai roadbike saya langsung memutuskan untuk pakai sepatu cleat . Pilihan murah jatuh pada shimano, pedal cleat atas saran kawan tadi memakai Look keo easy.
Sensasi pertama menggunakan roadbike serasa berbedA. Speed 25 kph terasa mudah dan nyaman saat itu. Baru 2 minggu belajar roadbike, diajak kawan-kawan bikeberry termasuk mas Tom touring sby-pare-blitar-malang-sby. 



Setelah itu saya banyak latihan sendiri, sabtu bike to work dengan sepeda ini. Minggu ke pandaanpun sendiri, mengayuh dengan speed 10 kph di jalanan pandaan, asal sampai chengho dan tanpa berhenti.
Audax east java 1, walaupun baru belajar saya nekat ikut juga. Beberapa kawan bikeberry termasuk mas TOM ikut juga dengan folding BF nya. Diacara ini saya harus evac, selepas kandangan kaki kram dan nggak bisa digerakkan lagi.



Pasca audax membuat saya makin rajin berlatih. Belum berani gabung SRBC, akhirnya saya bergabung dengan kawan-kawan Cycling-ID. Berlima kami langsung bersepeda sby jombang. Saat itupun saya jauh tercecer dibelakang. Sebenarnya bbrp bulan kemudian saya bergabung Srbc, tapi belum pede untuk ikut latihan.
Sedikit demi sedikit memutuskan untuk upgrade beberapa part, ceramic BB, dan ws fulcrum Rc 5. 

Bromo challenge 1 saya masih memakai sepeda ini.

Sepeda ini sekarang ada di Belgia bersama Yodi. 


Roadbike kedua saya memilih rubaix carbon, saat itu pertimbangan mencari comfort , frame baru saya pinang dari RM, itupun diijinkan boleh bayar dua kali. Spare part dapat ultegra 10 speed second, begitu pula dapat ws fulcrum rc 3 bekas.

Dengan sepeda ini audax east java 2 , sby-banyuwangi 333 km berhasil terlampaui dan finish. 

Sepulang dari audax east java, saya mendapat kontak dari Theri untuk gabung dengan Yscc. Saya ok kan saja saat itu . Berseped bareng pertama kalau nggak salah saat itu dari fk ke citraland. Masih ingat saat itu yang bergabung Theri, Deo, Ido, Dani, kamil dan zuhad dengan sepeda kleinnya. 


Nggak terasa kawan-kawan YSCC begitu cepat progressnya. Diskusi di group begitu intens, ditambah Yodipedia membuat YSCC begitu ilmiah.

Suasana baru, dengan kawan-kawan bedah membuat saya nyaman disini. Kadang saya tertawa sendiri lihat komen-komen kalian, saling gojlok, misuh, tapi nggak ada sakit hati. Rasa dekat makin terasa saat bersepedA ke lombok beberap waktu lalu. Terimakasih atAs julukan "Hadlander"

Saya sudahi dulu, sorry terlalu panjang. Ini kisah bersepeda saya dari th 2008 sampai hari ini. 




dr. Achmadi, SpOG aka HAD-LANDER
 

4 komentar:

  1. Anda idola saya, HAD.
    Terima kasih sudah banyak menginspirasi saya.
    Tunggu cerita saya tentang sepedaan dan diabetes!

    BalasHapus
  2. Salam kenal pak, saya Dea roadbiker dari Keong Cycling Team Jogja. Mantap pak,,saya juga telah beralih dari mountain biker menjadi road biker..Alasan pindah RB karena bisa selesai gowes lebih cepat daripada dgn MTB, jangkauan gowesnya lbh jauh dan lebih meminimalisir jatuh dari sepeda seperti saat menggunakan MTB. hehe. Yang jelas, apapun jenis sepedanya, pokoknya tetap pancal !

    BalasHapus
  3. Salam kenal pak, saya Dea roadbiker dari Keong Cycling Team Jogja. Mantap pak,,saya juga telah beralih dari mountain biker menjadi road biker..Alasan pindah RB karena bisa selesai gowes lebih cepat daripada dgn MTB, jangkauan gowesnya lbh jauh dan lebih meminimalisir jatuh dari sepeda seperti saat menggunakan MTB. hehe. Yang jelas, apapun jenis sepedanya, pokoknya tetap pancal !

    BalasHapus
  4. Metamorfosa yang luar biasa pak! keren.
    Saya juga bersepeda raodbike. Ada mtb lama kalo sekali waktu khilaf kangen suasana pinus hehe.

    salam kenal dr goweser kota malang,
    mampir ke blog acak adut saya

    pacificbikermlg.blogspot.co.id

    :)

    BalasHapus