Senin, 02 Mei 2016

Stages Power Meter, The Review! (1)

Setelah cyclocomputer dengan heart rate monitor, sepatu dan pedal yang kompatibel, wheelset sepaket dengan ban, groupset, bikefit dan berakhir ganti frame yang sesuai ukuran, short bib, jersey, sarung tangan, helm, topi, bahkan kaos kaki khusus untuk cycling dan arm protector, bidon tahan dingin lebih lama, saddle, bidon cage hingga bartape yang empuk dan dengan warna yang cucok dengan frame tidak luput menjadi incaran update bagi banyak cyclist. Hingga teman-teman YSCC selalu berkelakar, kita ini cyclist apa power ranger ya? hahahaha..

 Foto diambil dari www.stagescycling.eu

Is it enough? Mungkin benar kata pepatah 

"The only difference between men and boys is the price of their toys"


Di setiap waktu senggang, seorang laki-laki akan selalu googling hobinya, apa yang bisa dibeli, untuk nambah performa atau mungkin sekedar gaya. 

Angka, bagi saya mempunyai daya pikat tersendiri di otak saya. Berhasil mengukur sesuatu dengan angka, nilai objektif yang bisa terukur dan dibandingkan dari waktu ke waktu, untuk melihat performa saya selalu menggelitik otak saya yang hiperaktif ini. Setelah speed, distance, average speed, heart rate, gradient climb, duration, dan semua hal yang bisa terekam di Garmin selalu bikin saya penasaran, tidak heran, setelah satu workout satu jam saya bisa meluangkan waktu 15-20 menit untuk menganalisa hasil kerja saya dan membandingkan dari waktu ke waktu melalui rekaman di Garmin.  

Berawal dari ZWIFT yang sangat membantu saya untuk latihan di sela-sela waktu saya yang padat (sok sibuk padahal tidur). Di ZWIFT ini yang menjadi "mata uang" adalah watt/kg, atau gaya yang Anda keluarkan dalam satuan detik, dibagi berat badan Anda, pertama saya cukup bangga power saya cukup besar dibanding orang-orang YSCC, tapi langsung jadi kecil karena berat saya 104 kg, nggak usah kaget, biasa aja, ini udah diturunin dari 122kg tauk wakakaka.. Akhirnya power yang tampak di ZWIFT 200 watt hanyalah menghasilkan 1,9 watt/kg hiks hiks hiks.. Makin stress lagi pas ikut group ride, average pace 2,5-3 watt/kg, busyett.. dapet sejam langsung masuk UGD saya mungkin. Makin stress lagi begitu googling watt/kg yang dihasilkan rata-rata oleh cyclist pro sekelas Tour de France, mereka bisa melakukan 6 watt/kg dalam satu jam, atau mungkin sekitar 624 watt kalau saya, sedangkat FTP saya hanya sekitar 220-240an.. berarti saya harus meningkatkan hampir 3x power saya atau menurunkan berat saya jadi sepertiganya (kayanya nggak mungkin berat saya jadi 35kg) atau diantara kedua itu deh.

Akhirnya timbul pertanyaan menggelitik di otak saya, "ah ini power meter kan nggak bener itungannya, cuma pakai zPower calculation dari ZWIFT" (namanya ngeles boleh lah, nggak usah protes!). Akhirnya sibuk semaleman begadang berbekal penasaran dan kopi Sapan Toraja pemenang lelang kopi 2014, trus medium grind pakai french press dengan suhu 90 derajat selama 4 menit (harus detail biar makin seru ceritanya), akhirnya menemukan bahwa kita bisa mengukur watt secara langsung dengan lebih akurat, pakai POWER METER! Damn! Jadi dengan cara ukur strain gauge yang terpasang di pedal, crank arm, hub, atau crank, bisa diukur watt yang kita hasilkan dari kaki dan dihantarkan ke ban. Keren juga ya hehehe..

Berbekal rasa penasaran yang menggebu-gebu, akhirnya jatuhlah pilihan next upgrade untuk meminang power meter. Kenapa kita butuh power meter? Di bawah ini resmi dari pengalaman saya pribadi dan kesimpulan dari riset di internet.

Kenapa heart rate monitor tidak cukup?

Heart rate monitor sangat banyak yang mempengaruhi, mulai kondisi fisik yang kelelahan, hingga rangsangan psikis akan rasa takut, cemas atau mungkin putus cinta.. halah..

Jadi, kita butuh alat ukur yang sahih, lebih akurat dan bisa dibandingkan antara latihan kita dahulu, bahkan latihan saya dengan orang lain tanpa mempedulikan kondisi fisik dan psikis kita yang sedang sedih, setresss, excited bahkan putus cinta.

Akhirnya saya bingung nih mau beli kok pilihannya banyak banget dan harganya bisa bikin saya disuruh tidur pasar berbantalkan kubis dan berguling terong oleh istri saya. Ada SRM, Garmin Vector 2 yang berbasis pedal dan bisa diukur kanan kiri, harganya seharga Honda Vario satu, ada yang berbasis hub, crank, banyak deh. Akhirnya yang saya lirik adalah power meter yang paling murah, pilihan jatuh ke Stages. Segera saya hubungi toko lokal di tempat saya berada (Surabaya), di Rukun Makmur (www.rukunmakmur.com), btw tulisan ini tidak disponsori oleh Rukun Makmur atau Stages, tapi kalau dikasih Stages satu lagi sama Ko Tanto yang punya Rukun Makmur saya doakan tokonya makin laris hahahaha...

Jaman itu... cieeee.. jaman itu, padahal beli belum sebulan, stock nggak ada, akhirnya minta dipesenin dijanjikan 3 hari.. tepat sehari sebelum event Bromo barang sudah di tangan.. Thx ko Tanto.. Bungkus deh.. Lumayan sekalian pingin tau berapa power saya untuk event Bromo.


Pemasangan cukup mudah, bongkar aja pedal kiri, lepas crank arm kiri, pasang crank yang ada power meter ini, pasang pedal, beres. Tutorial lengkap di Youtube aja banyak.

Masalah di sepeda saya nggak selesai secepat itu, akibat power meter ini ada batre yang nongol lebih tebel dari crank arm normal, dan kebetulan frame saya memakai direct mount brake, akhirnya tebalnya crank arm untuk ikur power ini nabrak tonjolan dari rear brake direct mount saya yang terletak di bawah bottom bracket dan chainstay ini.. hiks.. hiks.. 



Karena hidup saya sebagian besar nonton McGyver, akhirnya dicoba diakal dipotong ujungnya sekitar 3 mm pakai grinder dan kikir halus dan berhasil lho wekekeke..









Setelah sekitar sejam menjadi McGyver, semua bisa berjalan normal, pelajaran yang didapat adalah, lihat clearance dari frame dan benda lain yang mungkin akan mengganggu jalannya crank ini karena lebih tebal dari normal, tapi kalau frame normal sih nggak akan nabrak kayanya.

Setelah sukses terpasang, langkah pertama adalah menghubungkan Stages ini dengan iPhone saya melalui Bluetooth dan aplikasi bawaan Stages yang disa didownload free di AppStore, kemudian melakukan update firmware.





Kemudian setelah itu melakukan kalibrasi dengan cara menaruh crank kiri di arah jam 6 dan kaki lepas dari pedal kanan maupun kiri dan klik "Zero Reset". Hal ini lebih praktis dilakukan di Garmin Edge 810 saya, jadi ternyata perubahan suhu dapat mengubah bacaan, wajarlah, karena pakai strain gauge, jadi harus di zero reset dulu setiap ada perubahan. Saya sih setiap etape atau berhenti kalau lagi jalan saya zero reset.

Akhirnya malam-malam saya kegirangan mencoba keliling area rumah saya dan mendapatkan bacaan seperti di bawah ini.







Oh iya, penutup kata di edisi satu ini, dengan Stages ini, Anda juga akan mendapatkan bacaan cadence, jadi cadence meter bisa dilepas.

Edisi dua saya akan membicarakan pengalaman di Bromo dengan Power Meter dan di Trainer pakai ZWIFT.

Semoga nggak keracunan.. hahaha..





 
dr. Hari Nugroho, SpOG
Instagram @drharinugroho 

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar