Sebagai awalan
Kebiasaan bersepeda saya sebenarnya sudah
dimulai sejak SD sebagai sarana transportasi pulang pergi sekolah. Mulai sepeda
mini, BMX, sepeda balap dan sepeda jengki,
pernah saya pakai saat sekolah. Namun sejak kelas 2 SMA saya kemudian banyak
berkendara pakai motor.
Polygon premiere 1.0
Hobi bersepeda muncul kembali semenjak saya
menjadi Residen Pendidikan Spesialis Kebidanan RS Dr Soetomo, sekitar tahun
2006-2007. Saat itu, beberapa senior (Supervisor & Konsulen–red) dengan kami
yang berstatus Residen membuat komunitas bersepeda yang dinamakan Obgyn Cycling Club (OCC). Selain saya,
yang bergabung saat itu dan bahkan sampai saat ini masih bersepeda adalah
sahabat saya, dr. Hari Nugroho dan dr. Dwinanto. Bahkan mas TOM (begitu biasa
saya memanggil dr. Dwinanto) sering bersepeda bareng saat bergabung di komunitas Bikeberry, maupun saat mencoba trek-trek off-road.
Perkenalan dengan Polygon Premiere 1.0
Mengingat pada saat itu status saya yang masih residen
dan masalah keuangan yang masih sempit, disertai pengetahuan tentang sepeda yang
juga masih sedikit, saya akhirnya memilih sepeda yang terjangkau dengan isi
kantong. Pilihan saya jatuh pada sepeda Polygon, sebuah merk sepeda lokal yang sudah mendunia, jenis premiere 1.0. Sepeda
ini merupakan sebuah sepeda hybrid
dengan ban berukuran 26 x1.5. Pada saat itu, harga Polygon Premiere berkisar
antara 1,5 juta rupiah. Bagi saya pada saat itu, harga tersebut sudah cukup
mahal.
Bergabung dengan kawan-kawan, tiap sabtu atau minggu
kami bersepeda bersama, rute saat itu masih belum terlalu jauh kalau
dibandingkan dengan rute-rute yang saya jalani sekarang. Start dari gedung GDC
RS dr sutomo rute kami menuju ke citraland PP, atau ke arah sidoarjo sampai
porong PP dan terkadang ke arah suramadu. Selain trek jalan beraspal juga
kadang ke trek tanah menuju ke arah hutan mangrove di wonorejo, saat itu
jalanan wonorejo masih banyak pematang di sela-sela tambak, dan tidak seramai
sekarang.
Satu kali, beberapa dari kami membawa sepeda di
malang untuk menikmati jalanan di kota Malang yang saat itu masih mulus
khususnya di jalan ijen.
Satu kali kami bersepeda di kebun kopi
di Banyuwangi, saat itu yang dipimpin oleh Dr. dr. Budi Santoso, SpOG(K) yang
kebetulan beliau berasal dari sana dan banyak kenalan pesepeda dari Rumah Sakit Genteng - Banyuwangi.
Dengan sepeda yang murah meriah itu saya bener-bener bisa menikmati, bahkan cukup
menyatu dengan sepeda itu, trek tanah di sela-sela kebun kopi dan coklat di
kalibaru banyuwangi benar-benar nikmat saat itu. Sampai suatu saat terpikir untuk
membeli sepeda yang lebih baik. Saya mulai berpikir untuk mencari trek-trek yang
lebih berat.
Bikeberry dan polygon zero
Sekitar tahun 2008-2009, diawali dengan semakin
menjamurnya Blackberry, muncul satu
komunitas pengguna blackberry yang ternyata juga penggemar sepeda, hanya saja
mereka menggunakan sepeda lipat "folding bike" yang saat itu hanya
beberapa orang saja pemakainya, jumlah juga masih terbatas. Sebenarnya saat itu
saya sudah ingin bergabung mereka. Hanya saja nggak "pede" karena
masih pakai sepeda hybrid. Saya bisa memantau kegiatan mereka lewat istri yang
sudah menggunakan blackberry juga saat itu. Kegiatan mereka sering di posting
di id-blackberry surabaya.
Ternyata mereka tidak hanya menggunakan folding
bike saja, ada beberapa yang juga menggunakan mountain bike (MTB) dan sepeda
hybrid. Akhirnya saya memutuskan untuk bergabung, mereka sangat terbuka.
Bertambah kawan baru dari bermacam latarbelakang pekerjaan, mulai wira usaha,
pegawai kantoran, sampai pegawai bank.
Saat itu keinginan memiliki folding bike sudah
terpikir, tapi kembali ke kendala "dana", akhirnya saya memutuskan
untuk membeli MTB saja, masih tetep bisa bergabung di bikeberry dan bisa
mencoba trek yang lebih berat. Setelah hitung-hitung anggaran, pilihan jatuh ke
polygon zero, MTB dual suspension yang paling terjangkau saat itu harga sekitar
4 jtan. Masih jauh lebih murah dari sepeda Hari saat itu polygon Ax1 (sorry ya
Har) tak sebut lagi namamu.
Tes pertama polygon zero bukan di trek tanah,
justru di trek aspal ikut kawan-kawan bikeberry keliling kota. Beberapa hari
kemudian ikut rute gerak jalan mojokerto surabaya, saat itu pengguna sepeda
polygon difasilitasi rodalink u tuk bisa mengikuti acara itu dengan bersepedA.
Saya ditemana Ides THT dan David bedah. Start sore dari mojokerto dengan sepeda
ban besAr finish surabaya sekitar jam 9 malam. Kawan-kawan boleh mencoba ketika MTB ban besar dipakai dijalan raya, bagaimana rasanya.
Dengan polygon zero ini, petualangan di trek-trek
berat dimulai. Salah satu anggota bikeberry ternyata pemain MTB dan beliau punya
komunitas MTB dikantornya, Djadi sugiarto (Om Djadi) biasa saya memanggilnya,
salah satu pentolan Telkom Cycling Community (TCC). Saat itu TCC ada acara
bersepeda ke Batu-Malang rencana rute ke gunung Panderman-Malang. Kenal dan
bertemu secara fisik saja belum pernah, saya memutuskan bergabung ikut di acara
itu. Penginapanpun sudah disediakan, sore hari akhirnya saya berangkat
sendirian, seped masuk mobil dan kamipun bertemu di wisma AL di daerah batu.
Kawan-kawan TCC menyambut dengan senang hati.
Pagi hari kami start dari penginNapan melewati
pasar batu, melewati BNS akhirnya mulailah "blusukan" ke arah
panderman, perjalanan saat itu dipandu cyclist malang, bener-bener exited saat itu,
jalanan tanah, udara segar trek naik turun, terkadang harus "tuntun
sepeda". Mungkin kalau sekarang , Buyung lebih hafal jalur itu. Kami
ternyata dibawa ke area paralayang, betapa indahnya saat itu bisa lihat
kota batu dari ketinggian. Rute sebaliknya tentunya decending, sensasi turunan
pertama yang saya rasakan, jantung berdegup kencang, konsentrasi penuh,
pengereman yang harus pas, bahu yang terasa lebih pegal jadi satu. Bener-bener
latihan handling langsung di alam.
Sejak itu trek trek lain mulai menggoda, kebun
teh Guci Alit Lumajang, bukit Beru Kediri, Claket Pacet, kebun teh Wonosari Malang, Wonosalam Jombang , lautan pasir Bromo, juga trek-trek yang nggak terlalu
berat bukit ular citraland, bukit hollywood gresik dan kebun-kebun kopi di Kalibaru Banyuwangi.
Kesegaran udara, bau tanah, lumpur, indahnya
pemandangan alam, keguyuban selama menikmati rute benar benar terasa, berbagi
air, berbagi bekal dan betapa kecilnya diri kita saat dialam luas.
Polygon zero ini saya rasakan bener bener
menyatu, walaupun dari sisi harga cukup terjangkau tapi handling benar saya
kuasai. Terjatuh mungkin hanya saat awal-awal melintasi trek claket, yang
sebenarnya lebih untuk sepeda downhill, selebihnya trek-trek lain terlewati dengan
mulus.
Untuk menambah kenyamanan dari polygon zero
ini, beberapa upgrade saya lakukan, terutama pada ukuran ban, yang semula
ukuran 1.90 saya ganti yang lebih besar 2.35. Maxxis highroller jadi pilihan,
terbukti lebih stabil, dan ada sedikit perubahan di gir belakang dari
sebelumnya 7 speed saya rubah jadi 9 speed.
Selama menggeluti MTB ada satu soulmate yang
selalu bersama, Ronggo Bawono, karyawan sebuah bank BUMN. Dari dia saya banyak
belajar tentang sepeda, mulai spare part, teknis dll. Beberapa even MTB
fun ride seperti Sejawat (sepeda jelajah wisata jawa timur), translibas juga
kami ikuti. Sayangnya kami harus berpisah karenA dia harus kembali ke jakarta.
Saat itu sepeda dia paling top diantara kami.
Ada satu trek yang serasa jadi hutang karena
saya nggak bisa ikut saat kawan-kawan bersepeda di Merapi, saat itu harus stase di
banjarmasin dan nggak mungkin ikut acara itu.
Dikalangan kawan-kawan bikeberry, kami yang gemar
main MTB ini dijuluki "orang hutan".
Seiring mulai maraknya MTB Downhill, dan
dibukanya trek tamandayu, saya jadi pingin coba-coba. Awal-awal mencoba tetap pakai
poligon zero ini, yang jelas spesifikasi sangat tidak cocok, fork depan travel
140 mm dipakai untuk trek downhill teknikal. Lama-lama terpikir apa harus ganti
sepeda downhill, lagi-lagi keuangan nggak memungkinkan.
Browsing-browsing yang memungkinkan adalah polygon FR
2.0 , fork bisa pakai dual crown 200 atau single 160-180.
Saat itu banyak downhiller yang sudah memakai
spez Demo yang harganya selangit diatas 50 jt.
Akhirnya saya memutuskan untuk membeli frame
bekas polygon FR 2.0 th 2009, harga sekitar 5 jtan. Supaya tampak baru frame
ini saya serahkan ke Eric caprin untuk repaint ulang. Dengan sepeda ini
beberaoa trek desending sudah saya lalui, tamandayu, nongkojajar,
jemplang-tumpang, semeru, cangar dan beberaoa trek lainnya. Saat lebih main di
trek desending ini saya punya soulmate baru, Ardi pangestu, karyawan bank
swastadi sby, seperti saya dan Ronggo juga, kami bermain folding bike juga.
Dan kami penyuka trek desending ini punua
jersey khusus 901 (nine speed zero brake one passion). Sepeda kami rata-rata
9 speed gir belakang dengan single speed gir depan, zero brake karena hampir
jarang ngerem saat menurun dan 1 passion penyuka trek desending atau turunan.
Ardi akhirnya memutuskan menjual sepeda
downhill scott gamblernya pasca cedera patah tangan setelahnterjatuh di cangar,
kejadian tepat didepan saya, padahal saat itu hanya jalan pelan.
Saya juga mulai berpikir untuk berhenti main
ekstreem setelah beberaoa kawan mengalami hal yang sama.
Setelah berhenti beberaoa saat , saya kembali
tergoda untuk kembali ke trek nongkojajar, saya DNF (don not finish), saat itu
rear shock patah , untungnya tidak terjadi hal yang fatal. Keiginan berenti
semakin kuat setelah kejadian itu, apalagi bbrp bulan sebelumnya juga sempat
terjatuh di taman dayu, jatuh dengan posisi terlentang saat jumping di sana,
untungnya terlinsung okeh helm full face dan body protector rigid. Sepeda ini
akhirnya saya ganti rear shock baru dan sejak itu hanya tersimpan di gudang.
Beberapa kali saya tawarkan ke kawan nggak ada yang berminat, akhirnya saya putuskan
nggak jadi dijual, biar buat kenangan.
Bikeberry dan folding bike
Keinginan memiliki folding bike akhirnya
terwujud. Diskusi dengan kawan bike berry sebenernya disarankan memilih Dahon
speed, namun lagi-lagi kendala dana. Akhirnya saya pilih folding bike lokal merk
Folker, sepeda ini fork depan dan belakang bersuspensi, mungkin karena
kebiasaan memakai MTB dual suspensi yanh membuat saya memilih sepeda ini, juga
harga yang lebih teejangkau dibanding dahon speed. Namun sepeda ini cukup berat
buat dijalanan aspal. Sepeda ino akhirnya saya jual dan beli folding Dahon eco
3, 1 level di bawah dahon speed, tapi nggak masalah, touring ke madura, bike to
RS dan saat di bali ke arah GWK pun nyaman-nyaman saja.
Dikalangan kawan-kawan bike berry ada sepeda yang
jadi idaman saat itu Bike friday, baru segelintir yang pakai. Sempat juga
memiliki sepeda itu BF New World Tourist (NWT) namun hanya berumur 1 minggu dan
belum sempat saya pakai harus dijual kembali, daripada urusan RT jadi ramai.
Mas Tom sepertinya masih pakai sampai sekarang. Akhirnya saya beli dahon spees
juga bekas punya kawan, harga 1/4 nya dari BF NWT saat itu. Dan dengan dahon
speed ini banyak tempat yang sudah saya lewati, madura, taman dayu, tomohon
manado, batu cobanrondo, bontang ke tugu equator, dan singapore.
Sore hari dahon speed ini juga sering saya
pakai di puri galaxy, saat itu roadbike mulai ramai. Keinginan lama memiliki
roadbike kembali muncul, apalagi begitu beratnya saat mencoba ikut peleton
roadbike dengan folding bike. Di puri galaxy saat itu hany mampu mengikuti 1
putaran saja speed 25 kph dengan folding bike.
Setelah sekian lama menemani akhirnya dahon
kesayangan ini harus saya jual juga, buat tambahan beli roadbike😢😢.
Petualangan baru dengan roadbike
Tahun 2013, akhirnya saya memutuskan untuk
beralih ke roadbike. Saat itu belum banyak pilihan yang saya tahu, yang terbersit
hanya merk specialized, nggak banyak kawan yang bisa saya ajak diskuso saat
itu, hanya 1 kawan bikeberry yang dari awal dia memang sudah memakai roadbike
specialized. Pertimbangan anggaran pilihan jatuh ke specialized Allez, warna
putih merah. Saat itu saya lagi suka warna putih merah, karena serasa sepasang
dengan MTB FR yang juga putih merah.
Awal memakai roadbike saya langsung memutuskan
untuk pakai sepatu cleat . Pilihan murah jatuh pada shimano, pedal cleat atas
saran kawan tadi memakai Look keo easy.
Sensasi pertama menggunakan roadbike serasa
berbedA. Speed 25 kph terasa mudah dan nyaman saat itu. Baru 2 minggu belajar
roadbike, diajak kawan-kawan bikeberry termasuk mas Tom touring
sby-pare-blitar-malang-sby.
Setelah itu saya banyak latihan sendiri, sabtu
bike to work dengan sepeda ini. Minggu ke pandaanpun sendiri, mengayuh dengan speed
10 kph di jalanan pandaan, asal sampai chengho dan tanpa berhenti.
Audax east java 1, walaupun baru belajar saya
nekat ikut juga. Beberapa kawan bikeberry termasuk mas TOM ikut juga dengan
folding BF nya. Diacara ini saya harus evac, selepas kandangan kaki kram dan
nggak bisa digerakkan lagi.
Pasca audax membuat saya makin rajin berlatih.
Belum berani gabung SRBC, akhirnya saya bergabung dengan kawan-kawan Cycling-ID. Berlima
kami langsung bersepeda sby jombang. Saat itupun saya jauh tercecer dibelakang.
Sebenarnya bbrp bulan kemudian saya bergabung Srbc, tapi belum pede untuk ikut
latihan.
Sedikit demi sedikit memutuskan untuk upgrade
beberapa part, ceramic BB, dan ws fulcrum Rc 5.
Bromo challenge 1 saya masih memakai sepeda
ini.
Roadbike kedua saya memilih rubaix carbon, saat
itu pertimbangan mencari comfort , frame baru saya pinang dari RM, itupun
diijinkan boleh bayar dua kali. Spare part dapat ultegra 10 speed second, begitu pula
dapat ws fulcrum rc 3 bekas.
Dengan sepeda ini audax east java 2 ,
sby-banyuwangi 333 km berhasil terlampaui dan finish.
Sepulang dari audax east java, saya mendapat
kontak dari Theri untuk gabung dengan Yscc. Saya ok kan saja saat itu .
Berseped bareng pertama kalau nggak salah saat itu dari fk ke citraland. Masih
ingat saat itu yang bergabung Theri, Deo, Ido, Dani, kamil dan zuhad dengan
sepeda kleinnya.
Nggak terasa kawan-kawan YSCC begitu cepat progressnya.
Diskusi di group begitu intens, ditambah Yodipedia membuat YSCC begitu ilmiah.
Suasana baru, dengan kawan-kawan bedah membuat
saya nyaman disini. Kadang saya tertawa sendiri lihat komen-komen kalian, saling
gojlok, misuh, tapi nggak ada sakit hati. Rasa dekat makin terasa saat
bersepedA ke lombok beberap waktu lalu. Terimakasih atAs julukan
"Hadlander"
dr. Achmadi, SpOG aka HAD-LANDER
Anda idola saya, HAD.
BalasHapusTerima kasih sudah banyak menginspirasi saya.
Tunggu cerita saya tentang sepedaan dan diabetes!
Salam kenal pak, saya Dea roadbiker dari Keong Cycling Team Jogja. Mantap pak,,saya juga telah beralih dari mountain biker menjadi road biker..Alasan pindah RB karena bisa selesai gowes lebih cepat daripada dgn MTB, jangkauan gowesnya lbh jauh dan lebih meminimalisir jatuh dari sepeda seperti saat menggunakan MTB. hehe. Yang jelas, apapun jenis sepedanya, pokoknya tetap pancal !
BalasHapusSalam kenal pak, saya Dea roadbiker dari Keong Cycling Team Jogja. Mantap pak,,saya juga telah beralih dari mountain biker menjadi road biker..Alasan pindah RB karena bisa selesai gowes lebih cepat daripada dgn MTB, jangkauan gowesnya lbh jauh dan lebih meminimalisir jatuh dari sepeda seperti saat menggunakan MTB. hehe. Yang jelas, apapun jenis sepedanya, pokoknya tetap pancal !
BalasHapusMetamorfosa yang luar biasa pak! keren.
BalasHapusSaya juga bersepeda raodbike. Ada mtb lama kalo sekali waktu khilaf kangen suasana pinus hehe.
salam kenal dr goweser kota malang,
mampir ke blog acak adut saya
pacificbikermlg.blogspot.co.id
:)