Senin, 02 Juli 2018

We ride Flanders 2018

Pada hari Minggu pertama di bulan April setiap tahun di Belgia diadakan balapan tahunan Tour of Flanders sejak lebih dari 100 tahun yang lalu. Sehari sebelumnya diadakan cyclo sportive We Ride Flanders yang menyusuri sebagian rute balapan ini. Even ini sudah diadakan sejak 1992 dan masuk dalam bucket list banyak cyclist dari berbagai negara, tidak hanya dari negara yang bertetangga tetapi juga Inggris, Amerika, bahkan Australia. Karakter utama even ini adalah tanjakan demi tanjakan yang curam dan pendek, jalan bebatuan yang disebut kasseien, jalur terbuka berangin dan cuaca tipikal yang sering berawan maupun hujan.

Tahun ini saya akhirnya berkesempatan ambil bagian sebagai satu dari 16.000 peserta even massal ini. Dari berbagai jarak yang ditawarkan antara 74 sampai 240 km, saya ‘terpaksa’ mengikuti saran kawan baik saya untuk memilih jarak 130 km saja. Pertimbangan pertama adalah keterbatasan pengalaman, karena saya belum pernah bersepeda lebih dari 100 km apalagi dalam even massal seperti ini. Kedua adalah waktu berlatih outdoor yang terbatas di musim dingin dan besarnya kemungkinan terjadi kerusakan mekanik sepeda. Sayang sekali pilihan jarak ini terpaksa melewatkan tanjakan ikonik Kapelmuur di kota Gerardsbergen. Persiapan terutama saya siasati dengan latihan indoor dengan program Zwift yang saya kenal dari komunitas ZID Zwift Indonesia.



Pendaftaran meliputi kartu peserta dengan timing chip, stiker berisi informasi lokasi tanjakan dan pit stop. Selain fasilitas ini, pendaftaran juga meliputi asuransi dan pertolongan teknis. Berulang kali ditawarkan untuk belanja fasilitas ‘lebih’, antara lain layanan VIP, foto khusus dan berbagai merchandise. Tidak seperti even di tanah air, tidak ada cycling jersey yang seragam tapi berbagai pilihan ini dijual terpisah meliputi topi kaos jersey dan bibshort dengan logo even. Ketidakseragaman juga mewarnai waktu start, di mana peserta boleh mulai antara pukul 7-9 pagi untuk menyiasati jumlah peserta yang mencapai ribuan. Batas untuk menyelesaikan seluruh jarak tempuh, mulai dari jarak terpendek hingga jarak ratusan kilometer adalah sama yaitu pukul 20 malam. Fleksibilitas ini memberi kesempatan peserta dengan berbagai usia, tingkat kemampuan maupun variasi jenis sepeda yang digunakan. Tampak peserta dengan sepeda balap terbaru, sepeda balap klasik, mountain bike, sepeda tandem, sepeda lipat dan bahkan cargo bike seberat 30 kg! Namun tidak memungkinkan untuk menutup seluruh rute selama sehari penuh ini, jadi hanya beberapa tanjakan kunci yang dibatasi hanya untuk akses peserta even. Sebagian besar jalanan adalah jalan umum tetapi ratusan tenaga pengarah bekerja sama dengan kepolisian membantu untuk mengatur lalu lintas. Persiapan matang dan pengalaman penyelenggara juga tercermin dari tersedianya WC umum portable dalam jumlah besar sepanjang rute maupun “piramid kencing” untuk peserta-peserta laki-laki. Uniknya, sejak sebelum berangkat sudah tersedia halaman web untuk masing-masing peserta sehingga keluarga dan kerabat bisa mengikuti real-time perjalanan kita.



    Could you imagine to ride 170 km on 30 kg heavy bike? Well, That’s exactly what Arjan Leeuwenbergh did today. “I had to stop a few times to fill my energy tank with a few beers. On the hills, I only had to walk on the Koppenberg. Phenomenal! #werideflanders #rondevanvlaanderen pic.twitter.com/gaKaNCRQhN
    — RVV Cyclo (@RVVcyclo) March 31, 2018

Pada hari H, saya mencapai garis start dengan kereta api untuk menghemat tenaga dan menghindari dinginnya suhu 2 derajat di pagi hari. Garis start dan finish terletak di kota kecil Oudenaarde dan terletak di kompleks perindustrian di pinggiran kota. Tepat sampai di garis start saya mendapat pesan teks dari Karel teman Belgia saya. Dia memberi semangat dan pesan penting, “Jalani dengan santai, tapi yang terpenting, nikmati hari ini!” Dialah sebenarnya yang mengajak saya untuk berani ikut even ini meski tanpa pengalaman, tapi terpaksa membatalkan karena kehamilan istrinya.

Saya mulai menjalani rute mengikuti panah-panah bersama dengan hiruk pikuk peserta lain. Berbagai bahasa terdengar di antara banyak kelompok-kelompok kecil yang tampak bersepeda bersama-sama. Meski di awal saya terus berusaha mengingat untuk menyimpan tenaga dan membatasi nafsu, saya terbawa kecepatan peserta-peserta lain. Hati agak ciut melihat bahwa sejak awal banyak peserta-peserta yang tampak di pinggir jalan memperbaiki ban yang kempis. Saya terbayang persiapan pribadi yang terlewat hanya membawa satu ban dalam. Lebih mengkhawatirkan lagi saya membawa pompa CO2 yang baru, belum dibuka dari kemasan, dan belum pernah dicoba.

Segala pikiran tersingkir begitu tiba di Wolvenberg sebagai tanjakan pertama. Kaki yang masih terasa segar membuat tanjakan hingga kemiringan maksimum 17% terlewati. Pada tanjakan kedua Molenberg mulai terjadi kemacetan. Peserta melimpah dan banyak yang berhenti di tanjakan sehingga ‘terpaksa’ saya turun dan menuntun sepeda. Tidak lama kemudian dimulai segmen bebatuan cobblestone yang pertama, saya berusaha mengingat tips untuk tidak menggenggam erat setir agar jari-jari tidak kesemutan. Tercecer di sepanjang jalan botol-botol minum yang terjatuh dari sepeda akibat getaran jalan berbatu. Saat jalan berbatuan menurun, sepeda meluncur makin kencang, getaran makin hebat, saya berusaha sekuat tenaga menarik rem. Di turunan lain yang beraspal dan berkelok-kelok, tampak tanda-tanda peringatan untuk berhati-hati. 

Setelah menempuh 30 km saya tiba di pit stop pertama. Tersedia kran air biasa maupun minuman elektrolit. Saya kemudian melihat makanan khas kesukaan saya, stroopwafel khusus dengan madu yang menjadi sponsor acara ini. Meski namanya wafel, tetapi yang jenis ini lebih seperti biskuit dengan sirop kental dan manis di tengahnya. Gigitan pertama saya terasa seperti batu, ternyata sirop di tengah wafel beku! Untungnya masih banyak pilihan lain tersedia, potongan jeruk dan pisang, kue madu dan kue wafel biasa. Selain itu tersedia sports bar dan stik kecil berisi madu. Saya mencari-cari tapi tidak ada gel yang tersedia, jadi saya bersyukur membawa beberapa batang sendiri.

Tahap kedua dari rute saya lewati dengan semangat tinggi meskipun kadang kali beberapa tetes hujan rintik turun. Ramalan cuaca untuk hari ini mengalami perubahan setiap hari, tetapi H-1 sebelumnya menunjukkan cuaca cerah. Melihat awan tebal di langit saya sempatkan melihat kembali ramalan terakhir, ternyata matahari sudah hilang dan digantikan hujan yang akan mulai di sore hari. Saya bergegas untuk terus berlanjut sambil kembali menyesali keputusan tidak membawa  jaket hujan. Mencapai perhentian kedua, saya sadari bahwa kaki sudah terasa lelah. Melihat rekam detak jantung sejauh ini ternyata rata-rata detak jantung saya lebih dari 145 detak per menit! Berarti saya melupakan niat awal untuk mulai dengan santai dan sudah menggunakan terlalu banyak tenaga. Saya putuskan untuk istirahat lebih lama di perhentian ini. Strategi saya adalah menghemat tenaga sebanyak mungkin sampai garis finis dan menaiki tanjakan pelan-pelan. Sportswatch di pergelangan tangan saya ubah untuk hanya menunjukkan detak jantung. Saya fokus untuk mempertahankan detak jantung di sekitar 130 selama mungkin.

Keluar dari pit stop kedua saya mulai perlahan-lahan. Terdengar bunyi keras di jalur di depan saya yang sempit dan berbatas pagar besi. Ada peserta terjatuh karena berusaha mendahului dan bersenggolan dengan pagar. Dengan berhati-hati saya meluncur ke tanjakan berikutnya yaitu Koppenberg. Nama tanjakan ini berarti bukit kepala, konon karena bebatuan yang dilewati sebesar kepala anak-anak. Di puncak tanjakan tampak banyak penduduk setempat yang menonton dengan memberikan semangat. Saya tersenyum lebar saat mereka membaca kartu peserta di depan sepeda dan meneriakkan nama saya! Sepanjang perjalanan juga terlihat fotografer yang bertugas mengabadikan para peserta, setiap lewat saya berusaha melihat kamera dan beraksi.


 Dengan strategi lambat asal selamat sampai finish, saya melalui tanjakan dan bebatuan mencapai pitstop ketiga. Di pitstop ini ada tambahan gummy bears pada jenis jajanan yang tersedia. Terbayang bahwa rute menyisakan dua tanjakan akhir yang seringkali menentukan hasil akhir balapan Tour of Flanders. Oude Kwaremont dan Paterberg. Dua tanjakan ini memiliki karakter yang sangat berbeda tapi terletak sangat berdekatan. Tanjakan pertama, Oude Kwaremont, adalah tanjakan terpanjang di seluruh rute melebihi 2 kilometer dengan gradien 4%. Tanjakan ini adalah tanjakan kategori 4, sama dengan segmen jalan Ranggeh di rute  Bromo. Eforia saya rasakan di akhir tanjakan Oude Kwaremont sehingga melupakan niat saya untuk berhenti beristirahat  dulu sebelum tanjakan berikutnya. Penyesalan ini baru terasa saat saya terhenti di Paterberg, dan dilewati oleh seorang ibu-ibu penduduk lokal yang naik dengan santai di atas mountain bike. Akhirnya saya berhasil melewati garis finis! Syukurlah tidak tertimpa musibah kecelakaan maupun kerusakan sepeda. Hiburan jazz band membuat semarak suasana pasar di kompleks start finish. Badan terasa pegal, kaki nyaris tidak terasa tapi hati senang luar biasa! We ride flanders, done.


https://www.strava.com/activities/1481810612/overview


https://photos.app.goo.gl/s2DZenDCGGB4HjX52




Tidak ada komentar:

Posting Komentar