Akhirnya hari yang ditunggu datang juga.
Setelah mempersiapkan berbagai hal mulai dari fisik dan mental, termasuk
diantaranya yang paling menantang adalah setup sepeda, distribusi muatan, ijin
orang tua dan keluarga, serta latihan fisik dalam hal ini handling dalam
mengendarai sepeda bermuatan penuh, dalam speed yang variatif, musim yang tidak
menentu, sebagai persiapan menghadapi perjalanan yang akan diiringi hembusan
angin Pantura Jawa yang terkenal lumayan bikin cyclist goyah badan dan
mentalnya.
Beberapa minggu sebelum keberangkatan,
tepatnya sejak awal bulan Juli 2018 saya mengutamakan berlatih menggunakan
sepeda yang akan saya kendarai untuk membiasakan handling, memahami karakter
sepeda ini, kelebihannya serta kekurangannya, serta beberapa sesi di atas indoor
trainer untuk berlatih endurance, serta beberapa sesi berlatih dibawah terik
dan hujan serta kalkulasi serta uji coba nutrisi dan peletakannya di tas yang
akan digunakan.
Rogojampi-Bajulmati
Kami start tepat setelah subuh di
Rogojampi. Pada sesi awal ini rekan sekaligus pembimbing berlatih, Bambang Sutrisno/
Mbah Gusmbangs memberikan arahan yang
spesifik kepada saya (tidak berlaku untuk secara general), dimana sepeda saya
belum dilengkapi power meter, maka kendali diutamakan dengan membatasi zona jantung dibatasi dibawah zona
aerobik, dengan cadence maksimum 70 RPM seperti yang sudah saya latih selama
beberapa minggu terakhir. Bila momentum dan angin berpihak kepada kami, maka
gir ratio disesuaikan untuk menambah laju, demikian pula sebaliknya manakala
terasa berat karena tanjakan ataupun angin, saya diminta meringankan gir sebisa
mungkin selagi mempertahanakan cadence konstan tapi respon jantung masih dalam
zona sub aerobik atau zona warna biru kalau menggunakan piranti Garmin. Ini
penting mengingat sepeda yang kami bawa cukup berat, Mbah Bambang mengendarai
sepeda dan pannier dengan beban total 40 kg, sementara saya sekitar 30 kg.
Cadence yang terlalu rendah akan menyebabkan sepeda sulit sekali dikendarai,
sementara cadence yang terlalu tinggi akan menyebabkan kendara tidak efisien
dan menghabiskan banyak tenaga untuk mengendalikan core muscles.
Waduk Bajulmati Baluran |
Bajulmati/ Alas Baluran – Karang Tekok– Asembagus
Area ini adalah ujian untuk mengendalikan
emosi di tanjakan, sembari tetap ajeg mengasup nutrisi. Sedemikian rupa
sehingga kendali tetap stabil, memanfaatkan momentum sebisanya. Tantangannya
adalah tidak kehilangan stabilitas handling di tanjakan, tidak bonking, dan
selalu senang. Kami sangat bersyukur kondisi lalu lintas relatif sepi hingga laju
tertinggi pada garmin connect kemudian terevaluasi mencapai lebih dari 70km/jam
, walaupun kondisi aspal yang tidak sehalus aspal di Lombok menyebabkan satu
bidon terpental lepas dan baru disadari berbelas menit kemudian. Bidon yang
satu itu saya relakan, toh hari ini tak akan kembali, dan seumur hidup belum
tentu saya bisa merasakan energi sebesar itu.
Panarukan - Sitobondo |
Asembagus
Kami memutuskan beristirahat cukup lama,
bahkan terlalu lama mungkin untuk ukuran road cyclist pada umumnya. Mulai pukul
10 sampai selepas tengah hari. Kami manfaatkan untuk makan pagi menjelang
siang, mandi, dan tidur sejenak. Jarak tempuh terbaca 70 km lebih. Hampir
setengah dari rencana kendara ini hari.
Rest Area Asembagus |
Rest Area Asembagus |
Asembagus-Situbondo Kota
Ternyata berita cuaca yang menunjukkan UV
index level ekstrim bukan isapan jempol. Luar biasa panas meskipun suhu hanya
terbaca di kisaran 30-32 derajat celcius. Arm screen saya kenakan. Speed
ditahan di kisaran 22-25 km/jam. Kali ini respon jantung sudah di kisaran zona
aerobik. Rehat sekali lagi di toko serba ada dalam kota Situbondo. Sekedar numpang
ngadem di toko dan bekal ulang air.
Situbondo Kota – Pasir Putih – Pantai
Blitok
Saya sudah hampir gentar menghadapi panas
dan angin. Sempat merasakan sensasi kedinginan karena jersey yang saya basahi di
kota tersapu angin di pesisir Pantura Jawa. Sangat membantu saran dari kolega
saya, Zuhad Irfan, untuk mengenakan selalu gilllet Warnanya yang menyolok membantu visibility
terhadap pengendara lain, kondisi un-zipp membuatnya tampak berkibar dan
menambah visibility, sementara dalam kondisi angin deras, saya memutuskan mengancingkan
erat gillet dan bersemangat menebas angin. Sepanjang perjalanan Mbah Bambang
kerap mengontrol respon jantung saya dan menyarankan perubahan gir ratio untuk
menjaga agar tidak timbul cidera otot serta asupan nutrisi untuk mencegah
bonking.
Pantai Bilitok |
Pantai Blitok – Rest Area Utama Raya
Sepanjang segment Asembagus sampai Utama
Raya satu hal yang saya pelajari dari para pengendara sepeda yang membawa aneka
bawaan seperti rumput, buah dan sebagainya: sedemikian rupa berbagi jalan
dengan kendaraan bermotor. Mengusahakan agar sepeda melaju tepat di kanan atau
pas di atas garis putih batas tepi jalan di sebelah kiri. Handling harus
diusahakan secermat mungkin sembari tetap melaju dan mengamati situasi lalu lintas
dengan menggunakan lirikan mata dan pendengaran. Pesan pentingnya jelas: menggunakan headset
bermusik saat berkendara di jalur utama seperti ini tentu bukan pilihan bijaksana.
Tempat
istirahat di Rest Area SPBU Utama Raya cukup menyenangkan. Aroma pantai dengan
tempat makan 24 jam dan tepat berada di pertengahan jarak tempuh total
kami Banyuwangi – Surabaya. Kesepakatan
kami terpenuhi, 150km atau pukul 5 sore, maka kami harus stop. Jarak tempuh
terbaca 159km (Garmin saya tidak sengaja terpencet save 20 km sebelum lokasi
ini). Besok perjalanan akan berlanjut dengan jalur tempuh yang tentunya
memiliki kisahnya tersendiri. Semoga kami senantiasa selamat sehat seger waras
sampai tujuan.
Risandi Pradipto
Besuki, Situbondo - Jawa Timur - Indonesia
Senin, 16 Juli 2018
20:41 WIB
Senin, 16 Juli 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar