Selasa, 17 Juli 2018

Road to KOGI 2018 - etape 2

Rest Area Utama Raya Besuki - Kraksaan.

Hari ke-2 kami start dengan waktu yang lebih siang dengan hari pertama: lewat selepas subuh. Pukul 05.15. Keputusan yang tepat sebab 2km selepas start kami bertemu dengan segmen yang selalu diwanti wanti akan menghabiskan tenaga: tanjakan di PLTU Paiton. Fresh legs + fresh air = smooth ride. Kegembiraan adalah energi, pesan Pak Bambang Sutrisno; kami lewati tanjakan tersebut dengan nyaman dan sempat berfoto di depan fasilitas pembangkit listrik tenaga uap dengan kapasitas terbesar di Indonesia tersebut dan kemudian sempat diiringi seorang cyclist yang sebelumnya bersepeda di kawasan internal PLTU lalu keluar ke jalan besar untuk menyertai kami sejauh beberapa kilometer. Rute menuju Kraksaan ini memiliki tantangan tersendiri sebab jalan tidak terlalu lebar, kurang mulus aspalnya, banyak persimpangan kecil, gangguan beberapa pengendara yang melawan arah, dan interval waktu anak berangkat sekolah. Speed kami jaga di kisaran 25-30 km/jam, kecuali, tentu saja saat di tanjakan. Cukup gegas di segmen jalan datar sebab Pak Bambang menyarankan kami menghemat waktu di jalan senyampang cuaca belum terlalu terik dan kami masih bugar. Masih sempat untuk mampir di rumah sahabat masa kanak kanak Pak Bambang di Kraksaan. 

Rute Etape 2


Paiton



Pantai Bentar - Probolinggo

Sedikit tanjakan yang lumayan sebab ada hambatan angin namun kondisi aspal yang mulus membantu laju lebih nyaman. Segmen ini lebih tenang sebab waktu sudah melampaui jam masuk kerja sehingga jalanan relatif lebih lengang dari sebelumnya. Kami beristirahat di Warung Kencur Bayeman Probolinggo untuk sarapan dan bekal ulang air. Dibandingkan hari pertama, kami sudah istirahat pada jarak ke 50 kilometer. Kami sesuaikan dengan tingkat kebugaran di hari kedua: kami istirahat tidak terlalu lama tapi lebih sering (jarak tempuh antar pitstop kami perpendek). Matahari mulai naik. Pukul 9 pagi.



Probolinggo- Pasuruan
Star pukul 10 pagi setelah satu jam rehat. Kami recovery dengan speed di kisaran 22-27 km/jam. Jalanan mulus. Angin deras. Lalu lintas bersahabat. Kami rehat kemudian di Toko Roti Matahari pada pukul 11.15 untuk bekal ulang air dan belanja oleh oleh untuk keluarga di Surabaya. Saya sempat becanda dengan istri saya via telepon: rotinya mungkin sudah terasa akrab, namun kali ini ada usaha lebih untuk membawanya sampai ke Surabaya.
Selepas istirahat sholat dan minum serta siram siram kepala untuk meredakan panas, kami lanjutkan perjalanan pada pukul 12 tepat.



Roti Matahari Pasuruan
Pasuruan - Bangil - Gempol
Di segment ini kami lumayan kepanasan dan hampir kehilangan semangat. Pak Bambang berpesan ulang: kegembiraan adalah energi, temukan sendiri sunber energimu, bila cocok, tambah speed, perhatikan selalu respon janting dan kecukupan oksigen anda, saya akan talk test dan berikan tebakan aritmatika ringan untuk menguji secara kasar kondisi anda.

Cukup seru meliuk-liuk di tengah lalu lintas pasar Bangil sambil membawa pannier berat.
Segmen yang menyenangkan sebelum dan sesudahnya speed tertinggi sampai di 40 km/jam. Jantung tetap terjaga di zona aerobik.

Satu jam tepat sampai di depan pabrik Indofood Gempol. Pukul 1 siang. Aroma asap kendaraan begitu pekat dan membuat kerongkongan terasa kering dan agak pedih. Kami putuskan istirahat panjang ke-2 untuk mandi dan bekal ulang cairan di toserba sisi kiri jalan. 
 
Gempol Mini Market

Gempol - Sidoarjo - Surabaya
Pukul 2 siang kami lanjutkan perjalanan. Kurang 42 km sampai ke tempat tujuan: rumah.
Tantangannya kali ini berbeda: bagaimana mempertahankan momentum di batas terakhir sebelum masuk Surabaya pada jam padat orang pulang kerja. Semua pengendara pasti kelelahan. Kami kelelahan. Sepeda kami pun kelelahan: baterai klakson dan lampu habis sudah di Sidoarjo. Harus semakin berhati-hati karena semua pengguna jalan kota besar seakan beringas berlomba pulang untuk membuang penat (atau beberapa mungkin malah akan menjumpai sumber kepenatan yang lebih di rumahnya).
Kami sempat disapa kawan lama saya, Dokter Reza Ramadhani yang kini bertugas di RSUD Sidoarjo, seorang cyclist juga, yang tidak sengaja melihat kami melintas menuju alun alun Sidoarjo. Perjalanan yang menyenangkan. Tambahan energi yang sangat ketika anda berjumpa dengan kawan yang sudah lama tak jumpa. Beberapa menit berlalu untuk meringkas jeda 3 tahun semenjak kali terakhir kami masih sama sama sekolah di pendidikan spesialisasi dokter orthopedi di Universitas Airlangga. Energi tambahan yang cukup untuk melibas flyover Gedangan dan lanjut sampai Raya Ahmad Yani. 





Kami memutuskan berhenti di depan tulisan "Surabaya" di bundaran Waru. Tempat yang biasanya selalu saya rasakan haru setelah turun tol di malam hari untuk menghirup aroma berada di Surabaya: kota yang sibuk, kini terasa kian asing, semua serba gegas, semua serba terburu-buru. Kali ini saya memotret situasi ini dengan sudut pandang berbeda, dan keharuan yang lebih karena perjalanan ini begitu lancar dan tepat waktu. Semua karena pertolongan-NYA semata.
Sembari mengasup gel nutrisi saya menghayati betapa perjalanan kali ini seumpama saya melambatkan langkah di tengah deru laju pekerja usia muda yang kerap terburu-buru. Betapa passion bisa membuat segalanya berbeda, dan sedikit jeda bisa memberikan nuansa kontemplatif yang bermakna.



 


Lamunan saya terhenti sebab Dokter Hari Nugroho menyahut lewat grup media sosial bahwa akan menyambut kami di tengah jalan. Tidak perlu ada janji yang disepakati, sebab toh fitur penunjuk lokasi bisa membuat beliau mudah menemukan kami. Sekali lagi kontemplasi tentang pisau bermata dua yang bisa disalahgunakan untuk mempersempit ruang pribadi dan rasa percaya sekaligus mempermudah perjumpaan dan mengobati rasa was was dan rindu.

Beberapa kilometer sebelum rumah, dokter Hari Nugroho menyertai kami di atas sepeda balapnya dan jersey YSCC kebanggan kami. Kami ngobrol kesana kemari. Beliau dengan penuh kelegaan mengusap helm saya : edan koen !!!, serunya.




 


Saat sudah memasuki area tempat tinggal saya, aroma jalan yang biasanya saya sepelekan memberikan kebermaknaan tersendiri. Betapa sedari siang saya diingatkan akan satu kesadaran; kadang kami suka becanda kalau ada yang bersepeda touring dengan "kalau ada masalah di rumah jangan minggat dong...", sebaliknya hari ini saya menemukan kesimpulan saya sendiri:
Justru kalau ada yang rumah tangganya bermasalah saya sarankan dibalik paradigmanya. Jangan touring pergi berangkat dari rumah. Justru lakukan touring untuk pulang ke rumah. Maka engkau akan merasakan betapa indahnya pulang ke rumah setelah lelah menghadapi dunia. Bukan rumah, isi rumah, atau kepemilikan kita yang kurang. Kita justru yang kurang berada di titik terendah untuk merasa sudah dicukupkan olehnya. Kita yang kadang lupa kalau semua yang kita gunakan cuma titipan, termasuk nikmat sehat dan sempat. Kadang kita yang kurang bersyukur akan segala yang sudah diberikan-NYA. Dan hari ini saya bersyukur bahwa saya tidak harus menunggu sampai terlalu tua untuk kelak menjalankan hidup sia-sia tanpa rasa damai karena kurangnya rasa bersyukur akan segala nikmatnya.






Risandi Pradipto

Surabaya - Jawa Timur - Indonesia

Rabu, 18 Juli 2018
10:23 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar